Senin, 06 Desember 2010

filsafat ilmu al jabiri

Bab I
Pendahuluan

Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bersal dari bahasa yunani, episte, yang berarti pengetahuan. Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Epistemologi menjangkau permasalahan permasalahan yang memembentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yan sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalah ilmiah didalam kehidupan sehari –hari.
Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi. Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spritualitas dan moralitas. Sehingg diharapkan epistemologi Islami akan lahirr dan member jawaban atas kegelisahan umad dewasa ini. Sehubunga dengan masalah tersebut maka disini akan dibahas tentang epestemologi Islam digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang cendikiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendikiwan muslim Indonesia.




Bab II
Pembahasan
Muhammad Abid al- Jabiri bukanlah nama asing lagi dikalangan intelektual Islam. Ia seringkali disejajarkan dengan Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullah Ahmad al-Na’im, Ali Harb dan Figur-figur cendikiawan muslim yang memiliki keberanian dan kegigihan dalam mengusung tema-tema rasionalisasi, dinamisasi, pluralisme dan pembebesan.
Al-Jabiri lahir di Figuig Maroko pada tahun 1936. Ia menyelesaikan sekolah ibtidaiyah dimadasah burrah wathaniyah, sekolah menengahnya ditempuh di Casablanca dari tahun 1951-1953. Kemudian ia memperoleh Diploma Arabic Hig School setah Maroko medeka. Menyelesaikan S 1 nya di Universitas Rabath, pada tahun 1957 meraih gelas Maternya, sedangkan doktornya diperoleh pada tahun 1970.
Al jabiri mempunyai ambisi besar untuk membangun sebuah epistemology baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat hari ini. Dia mengkritik gerakan salaf dan juga merasa tidak puas terhadap pembaharuan yang dilakukan para cendikiawan muslim. Meskipun demikian al-jabiru juga tidak setuju dengan pemikiran liberal yang berusaha mengadopsi tradisi barat secara membabi buta. Hal tersebut dikarenakan Arab dan Barat memiliki setting sejarah yang berbeda . al-Jabiri juga mengkritisi akal Arab yang gagal melakukan transformasi seiring berubahnya waktu dan setting sosial itu sendiri.
Menurut al-Jabiri, tidak banyak yang berubah dalam pemikiran Arab sejak zaman jahiliyah. Al-Jabiri seolah-olah menegaskan bahwa Al-Qur’an yang merupakan sumber inspirasi dalam system kepercayaan Islam sama sekali tidak memainkan peran signifikan dalam merobah corak pemikiran. Bahkan al-Jabiri mengatakan bahwa masa jahili orang Arab tidak hanya ber langsung sebelum kenabian Rasulullah tetapi terus berlanjut hingga terkodifikasinya ilmu-ilmu pengetahuan Arab.
Al-Jabiri merupakan pemikir Arab kontemporer yang mencoba melakukan terobosan-terobasan alternatif dalam rangka menyelesaikan problematika antra tradisi Islam (turath) dan capaian-capaian modernitas yang diinginkan oleh bangsa Arab. Diantara problem pokok yang menyita kalangan pemikir Islam adalah rajutan tradisi yang berkembang mengikuti irama perkembangan agama yang mensejarah. Karena rajutan turath kadangkala menuntuk hak untuk diperlakukan dengan terhormat sama terhadap perlakuan yang istimewa pada Al-Qur’an (wahyu). Al-Jabiri memandang turath kebudayaan yang dilihat sebagai bagian yang esensial dari eksistensi dan kesatuan umat Islam maupun bangsa Arab. Disini turath dipahami bukan hanya sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah bagian dari penyempurnaan akan kesatuan ruang lingkup kultur yang terdiri dari doktrin agama, bahasa, akal dan mentalitas
Menurutnya, kebangkitan Arab harus beranjak dari tradisi mereka sendiri dengan secara sadar dan rasional. Maka pemikiran mereka dituntut untuk mengkritik masyarakat dan akalnya, baik akal abstrak maupun akal politis.
Epistemology Islam dalam Struktur Akal Arab
Muhammad al-Jabiri, telah mengemukakan gagasan segar dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat yaitu melalui proyek pemikirannya yang ia sebut dengan Kritik Nalar Arab dilatar belakangi oleh semangat revivalisme (kebangkitan Islam) dalam dua gagasan yaitu sebagai refleksi atas kegagalan kebangkitan Islam sekaligus upaya untuk merealisasikan kebangkitan Islam yang tak kunjung datang. Karena itu kritik akal merupakan hal yang utama dalam proyek kebangkitan bangsa arab dengan memperhatikan sejarah budaya Arab Islam dan pembentukan Akal Arab, yang dalam sejarahnya sering terjadi pertikan antara kajian epistemology dan ideology dalam budaya akal Arab.
Yang dimaksud dengan kritik akal Arab al-Jabiri adalah akal arab dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiran dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristik-karakteristiknya dibentuk oleh peradaban tertentu dalah hal ini adalah peradaban orang arab. Dengan kritik akal Arab, diharabkan bangsa Arab mampu menulis kembali sejarah peradaban Arab mereka. Al-Jabiri mengkaji epistemology dalam akal Arab melalu tiga hal yaitu bayani, ‘ifani dan burhani.
a. Al- Bayan (Retorika)
Sebagai aktivitas keilmuan, al- Bayan adalah nama aphoris dari proses penampakan dan menampakkan (al-zuhur wa al-izhar), serta aktivitas memahami dan memahamkan (al-fahm wa al- ifham). Dengan demikian, kata ini sulit dicari padanannya dalam bahasa lain. Penggunaan istilah retorika ini adalah upaya pengalihan bahasa dengan menggunakan padanan kata yang terdekat.
Akal retoris (al-‘aql-al-bayani) merupakan pertumbuhan akal orisinil Arab. Akal ini di persentasikan oleh ilmu bahasa Arab, ushul fiqih dan ilmu kalam. Ia merupakan produk kejeniusan orang Arab namun sudah tidak berkembang lagi, karena sudah mencapai titik klimak kematangannya pada masa kelahirannya, era kodifikasi.
Al- Bayan menurut bahasa dalam pandngan al-Jabiri al-bayan adalah al-fshl waal-izhar (pemisah dan penampak), sebagai pemikiran adalah al-infishal wa al-zuhur (berpisah dan tampak). Sedangkan secara epistemology, al-Jabiri mendefinisikan al-bayani dengan memperhatikan dua bagian bahasa yaitu taqnin tafsir al-khithab (peraturan penafsiran teks) dan syuruth al-khithab (syarat membuat teks).
Dalam perkembangan selanjutnya, pembahasan tentang al-bayan lebih identik dengan pembahasan logika disbanding ilmu yang lain. Al-Jabiri menolak anggapan bahwa hal tersebut dikarenakan masuknya filsafat Yunani dalam pemikiran Arab Islam. Menurutnya, perubahan terjadi setelah kajian bayan berkembang dalam pendekatan balaghah, para ulama berusaha mengkaji ilmu tentang penafsiran teks agama seperti Al-qur’an dengan meneliti I’jaz Al-Qur’an dikalangan Mu’tazilah. Maka al-Jabiri mengambil pendapat Ibnu Wahab dalam perkembangan pemikiran bayani. Ia mengatakan bahwa akal membedakan manusia dengan hewan. Akal manusia terbagi menjadi dua yaitu akal mauhub (akal pemberian tuhan) dan akal maksub (hasil usaha manusia). Maka manusia adalah insan yang berakal dan mampu menjelaskan dan menggunakan akalnya.
Sebagai sebuah lapangan keilmuan, retorika dalam kapasitasnya sebagai hasil sebuah pandangan budaya secara ontologi merupakan ilmu pengetahuan yang di adopsi oleh ilmu-ilmu araba orisinil, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu agama. Perhatian al-Jabiri terhadap ilmu bahasa terkait dengan anggapannya bahwa bahasa adalah penyebar peradaban.
Corak epistemology bayani didukung oleh pola piker fikih dan kalam. Pola piker tekstual bayani lebih dominan secara politisi dan membentuk main-stream pemikiran keislaman yang hegemonik. Sebagai akibatnya pola pemikiran keagamaan Islam model bayani menjadi kaku dan rigid . Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman, akal dan intuisi. Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan system epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyyah. Pola pikir bayani lebih mendahulukan qiyas, qiyas al-illah untuk untuk fiqih dan qiyas dalalah untuk kalam.
b. Al- ‘Irfani (Gnostis)
Al-‘Irfan berasal dari kalimat ‘arafa berarti al-ma’rifah atau al-‘ilm (pengetahuan).dalam kalangan sufi al-‘irfan berarti al-kasyf dan al-ilham. Dzun Nun al-Masry (W.254) membagi al-ma’rifah menjadi tiga bagian.
1. Ma’rifat al-tauhid, pengetahuan yang di milik seluruh kaum muslimin
2. Ma’rifat al-hujjat wa al-bayan yang dimiliki oleh para ahli bahasa, balaghah, dan ilmuan.
3. Ma’rifat sifat al-wahdaniyyah yaitu pengetahuan yang dimiliki orang-orang khusus yang bisa melihat Allah dengan mata hati mereka.
Dalam menerjemahkan kata al-‘rfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tak sama. Yang pertama adalah “gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnokstik“ yang di khusus kan kepada pengetahuan tentang Allah yang di nisbahkan kepada “gnostiksisme”, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad 2 . M. kelihatannya pengerti kedualah yang di kehendaki oleh al-Jabiri.
Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-kasyf (unveiling) dan al-‘ayan (intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi di balik wujud eksoteris dari teks Agama.
Adapun dari segi epistemologisnya, gnostik merupakan prinsip dasar, konsep dan prosedur yang membangun dunia pikir. Epistemologi ‘irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukan pada teks. Menurut sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik Persia dan Yunani jauh sebelum datangnya teks-teks keagamaan baik oleh Yahudi, Kristen maupun Islam.
Jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah “teks”(wahyu) maka sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi berpikir ‘irfani adalah experi-ence (pengalaman). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik, sesungguhnya merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya.
Semua pengalaman otentik dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya dan agama yang di peluknya, tanpa harus mengatakannya terlebih dahulu lewat pengungkapan bahasa maupun logika. Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung, intuisi, al-dzauq atau psikognosis. Sekat-sekat formalitas lahiriyyah yang diciptakan oleh tradisi epistemology bayani dan burhani baik dalam bentuk bahasa, agama, ras, etnik, kulit golongan, kultur, tradisi yang ikut andil merenggangkan dan mengambil jarak hubungan interpersonal antar umat manusia, ingin di ketepikan oleh tradisi berpikir orisinil ‘irfani.
c. Al- Burhani (Demonstrative)
Dalam bahasa Arab al-burhani berarti argumen yang jelas. Bahasa latinnya berarti demonstration yang berarti al-isyarah (isyarat/tanda), al-washaf (sifat), al-bayan (penjelas), al-idzhar (menampakkan). Secara umum berarti pembuktian untuk membenarkan sesuatu.
Sebagai aktifitas kognitif, demonstrasi adalah inferensi rasional yaitu panggilan premis-premis yang menghasilkan konklusi yang bernilai. Sebagai lapangan kognitif, demonstrasi ini adalah dunia pengetahuan filsafat dan sains yang di derivasikan dari gerakan tranlasi buku-buku asing, khususnya karya Aristoteles kedalam peradaban Arab. Karena penerjemahan buku-buku itu dilator belakangi oleh kehendak politik untuk mendukung akal retoris melawan tren akal gnostis, maka tidak heran kalau dalam praktiknya latar belakang ini mempunyai pengaruh yang dominan. Dan terjadilah hubungan yang sangat erat antara keduanya dalam tataran pemikiran teologi/filsafat.
Jika sumber ilmu dari corak epistemologi bayani adalah teks, sedangkan ‘irfani adalah pengalaman, maka epistemologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu –ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai ilmu al-husuli, yakni ilmu yang konsep, disusun dan di sistemasasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi.
Premis-premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerja-sama antara proses abstraksi dan pengamatan indrawi yang sahih atau dengan menggunakan alat-alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti ala-alat labolatorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu di arahkan untuk mencari sebab -akibat
Untuk mencari sebab-akibat yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, social, kemanusiaan dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan. Untuk lebih memahami realitas kehidupan sosial keagamaan dan sosial keislaman, menjadi lebih memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi, kebudayaan dan sejarah.
Tolok ukur validitas keilmuannya sangat berbeda dari nalar bayani dan nalar ‘irfani. Jika nalar bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nas dan realitas dan nalar ‘irfani lebih pada kematangan social skill, maka nalar burhani,ditekankan adalah korespondensi yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam.

Bab III
kesimpulan
Muhammad ‘abid al-Jabiri, telah mengemukakan gagasan segar dalam rangka proyek besar bagi kebangkitan umat Islam dengan melalui Kritik Nalar Arab. Yang dimaksud kritik nalar arab al-Jabiri adalah akal arab dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiranban tertentu dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristiknya dibentuk oleh peradaban tertentu dalam hal ini adalah peradaban arab.
Al-Jabiri mengkaji pertumbuhan akal orisinil arab yang disebutnya sebagai akal retoris. Akal ini dipersentasikan oleh ilmu bahasa Arab,ushul Fiqih dan ilmu kalam. Setelah itu al-Jabiri memasukkan dua akal yang lain dalam dunia pemikiran Arab yaitu akal gnotis (‘irfani) dan akal demonstratif (al-burhani). Nalar ‘irfani lebih menekankan pada kematangan sosial skill (empati,simpati), sedangkan nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hokum alam. Kalau ketiga pendekatan keilmuan agama islam, yaitu bayani, ‘rfani, dan burhani saling terkait terjaring dan terpai dalam satu kesatuan yang utuh maka corak dan model keberagamaan Islam lebih jauh lebih komprensif.







Daftar Pustaka

Amin Abdullah, Islamic Studies dalam pradikma integrasi– interkoneksi, Yogyakarta, suska press,2007
A .Hanafi, Pengantar Filsafat, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1981
Baktiar, Amsal,Filsafat Ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta 2010
M. Abid al-Jabiri Nalar Filsafat dan Teologi ter.Aksin Wijaya Yogyakarta. 2003
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-A’raby, 383

Muhammad Aunul Abied al-Jabiri Shah dan Sulaiman Mappiase, Kritik Akal Arab:Pendekatan Epistemologi terhadap Trilogi Kritik al-Jabiri 317
M. Abid al-Jabiri Takwin al-‘Aql al-‘Araby
Nirwan Syafri, kritik terhadap Akal Islam al-Jabiri, Islamiah, THN I No 2/ juni –Agustus , 2004 .hal.43
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, hal-261

Tidak ada komentar:

Posting Komentar