Senin, 06 Desember 2010

HERMENETIKA

Bab I
Pendahuluan

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa para intelektual banyak mempertanyakan tentang apa penyebabnya filsofis yang terkandung di dalam ilmu-ilmu (sains). Setiap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut dapat dijawab dengan cara membenturkan, dalam rangka memperbandingkan, ilmu sosial dengan ilmu eksak (ilmu alam), maka ada dua kemungkinan jawaban: kalau tidak kedua disiplin ilmu itu memiliki “pengertian” kebenaran yang berbeda, maka pengertian kebenaran yang diklaim satu pihak lebih benar dan pihak lain harus tunduk pada pengertian tersebut. Dengan cara seperti ini barang kali sudah sangat banyak ditempuh oleh para filosof maupun sosiolog pengetahuan.
Pertanyaan selanjutnya, tidak adakah cara lain yang tidak melulu menghasilkan harga mati seperti itu? Sebagai aliran filsafat mencoba memberikan alternatif lain dalam rangka menjawab pertanyaan yang telah diajukan di atas. Secara sederhana dan mendasar, fenomenologi berangkat dari pengalaman paling elementer dan bersifat keseharian untuk konsep-konsep yang telah diklaim definitive di dalam wacana akademis, pertanyaan tersebut dicoba diurai berdasarkan pengalaman-pengelaman keseharian, dan dicoba mempersoalkan tanpa melibatkan pengandaian-pengandaian yang sifatnya sudah teoretis. Berdasarkan kesadaran inilah kemudian bertemu soal-soal yang berkaitan dengan kebenaran teoretis-korespondesif. Misalnya saja tentang masalah apa yang indah atau apa yang baik. Yang dalam kehidupan sehari-hari, memutlakan sesuatu sebagai indah atau sebagai baik sama saja dengan memaksakan kehendak kepada orang lain yang belum tentu mengakui demikian. Jika demikian halnya, dalam kehidupan nyata sehari-hari, kebenaran lebih berkaitan dengan apa yang dialami, ketimbang apa yang telah atau bisa dibuktikan. Pembicaraan tentang kebenaran di dalam kehidupan nyata lebih bertumpu pada pengalaman yang dilalui dari pada buktikan yang dapat disodorkan.
Dalam keseharian manusia, yang jadi basis segenap pengalaman manusia, belum terjadi pemilihan dan abstraksi teoritis berdasarkan kategori ilmu social atau ilmu eksa. Oleh karena itu, pada prinsipnya di kehidupan nyata, apa pun disiplin yang terjuni, seseorang tidak akan membuatnya terkotak menjadi dua kubu yang saling meminggirkan, sebab yang diperoleh ketika menjalani hidup adalah pengalaman. Menurut M.Amin bahwa pengalaman konkret historitas kemanusiaan di era globalisasi atau modern, pada gilirannya dapat membentuk dan mewarnai pola berpikir yang berlaku saat itu.
Secara ontologis, pengalaman berhadapan dengan karya seni, tingkah pola orang lain, dan angka-angka yang tidak pernah dengan sendirinya melakukan pengotakan manusia menjadi kubu yang berpayung pada disiplin ilmu eksa sehingga boleh merasa di atas angin, dan kubu yang mengusung disiplin ilmu non-eksak sehingga merasa di bawah angin.
Hermeneutika filosofis yang dikemukan oleh Gadamer adalah refleksi kritis tentang pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan ontologi keterbatasan temporal Dasein, sebuah hermeneutika yang tidak mengobjektivitasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman. Menurut R.Haryono Imam bahwa hermeneutika artinya penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang-orang lain, khususnya yang berda dalam lingkungan social budaya atapun yang berada jauh dalam rentang sejarah. Yang era globalisasi atau modern sering dipersempit menjadi penafsiran tertulis yang berasal dari lingkungan social dan histori yang berbeda dengan lingkungan dan dunia pembaca.
Truth and Method menyatakan bahwa di wilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat di luar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Keuniversalan ini tidak disimpulkan oleh Gadamer secara empiris, akan tetapi dari analisis fenomenologis atas pengalaman actual manusia ketika memahami sesuatu. Dari sinilah lahirnya tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan bisa mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah histories, dan oleh karena itu terbatas.
Pandangan ini berimplikasi pada Geisteswissenschaften sebagai disiplin yang mengkaji makna-makna yang telah dihasilkan manusia lewat kebudayaan dalam rangka pembudidayaan dirinya. Kebudayaan tersebut terus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran dan kekuasaan politik .

Bab II
Pembahasan

1. Pengertian Hemenetika
Hermenetika tidak muncul sebagai daftar khusus dalam katalog studi-studi di Universitas. Bidang ini biasanya dipandang sebagai suatu sub disiplin teologi, yang mencakup kajian metodologis tentang otentikasi dan penafsiran teks. ilmu Istilah hermeneutika pada dasarnya, secara tradisional, sering disandarkan dengan Hermes, seorang tokoh dalam mitos Yunani yang bertugas sebagai mediator antara Zeus dengan manusia. Sebagai mediator diartikan sebagai penyampai pesan Zeus untuk manusia. Sehingga Hermes sendiri mengalami kebingungan yaitu bagaimana bahasa langit itu dapat dipahami dengan bahasa bumi. Sehingga Hermes memberanikan diri untuk meng-eksegesis pesan tersebut menjelma menjadi sebuah teks suci.
Kata teks di atas dalam artian etimologi adalah tenunan atan pintalan. Sehingga kaitannya dengan Hermes adalah hal yang ia pintal adalah gagasan dan kata-kata Zeus (bahasa langit) menjadi sebuah narasi dalam bahasa manuisa.
Kata hermeneutika berasal dari kata Yunani: hermeneuein yang diartikan sebagai: menafsirkan dari kata bendanya hermeneia artinya tafsiran. Hermeneuein sendiri mengandung tiga makna yaitu: (1) to say (mengatakan); (2) to explain (menjelaskan); dan (3) to translate ( menerjemahkan). Yang kemudian ketiga makna ini diserap ke bahasa Inggris menjadi to interpret. Otomatis kegiatan interpretasi menunjukkan pula pada tiga hal pokok yakni: (1) an oral recitation (pengucapan lisan); (2) a reasonable explanation (penjelasan yang masuk akal); dan (3) a translation from another language (terjemahan dari bahasa lain/mengekspresikan).
Secara istilah hermeneutika dipahami sebaagai suatu seni dari ilmu menafsirkan khususnya tulisan berkewenangan, terutama berkenaan dengan kitab suci dan sebanding dengan tafsir. Atau sebuah filsafat yang bidang kajiannya memusatkan pada bidang persoalan understanding to understanding terhadap teks yang ekstra linguistik atau secara dialektis non-Platonik.
Sehingga ada dua poin penting yang dapat kita deskripsikan yaitu: (1) permasalahan filsafat adalah pada bahasa dalam artian sempitnya, yaitu bentuk semantik tertentu dalam artian transposisi suatu nama atau istilah; (2) bahasa adalah kondisi dasar antropologis, sehingga wacana filsafatpun pada dasarnya metavoris intensive.
Dalam perkembangan selanjutnya, hermeneutika dibahas menjadi tiga yaitu: hermeneutika sebagai metodologi; filsafat; dan kritik. Sementara pemikirannya dibagi menjadi enam pembahasan yaitu: sebagai eksegesis bible; metode filologi; sebagai pemahaman linguistic, sebagai fondasi geisteswissenschaft; sebagai fenomenologi dasein; dan sebagai system interpretasi
2. Hermeneutika Filosofis
Dalam literature filsafat dijumpai bahwa hermeneutika filosofis dalam bahasa Jerman: Philosophische Hermeneutik; Inggris: philosophical hermeneutics. Hermeneutika merupakan istilah yang terbuka bagi beberapa interpretasi . Sebutan tersebut dipakai oleh Gadamer untuk menyebut pemikirannya secara umum, karena dia ingin mengetengahkan sebuah hermeneutika yang punya relevansi filosofis. Hermeneutika filosofis merupakan suatu upaya untuk mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia yang tidak bisa direduksi. Gadamer seringkali menekankan bahwa ia tidak bermaksud untuk mengembangkan serangkaian aturan atau prosedur interpretasi teks. Tujuan Gadamer bersifat filosofis, yakni bukan mengidentifikasi apa yang kita dilakukan atau apa yang seharusnya kita lakukan, melainkan apa yang terjadi pada diri kita berkenaan dengan keinginan dan tindakan kita.
Yang berbeda dengan Heidegger yang mengajukan istilah dengan filsafat hermeneutis (hermeneutic philosophy). Sebenarnya kalau dianalisis konsekuensi dari hal yang dikemukan adalah bahwa seluruh interpretasi termasuk interpretasi diri, dan seluruh riset di lapangan sejarah filsafat, sesungguhnya adalah filsafat itu sendiri.
Apa yang diungkapkan oleh Gadamer dapat dilihat dari komitmennya terhadap metafisika di dalam teori tentang pemahaman. Yang dapat membuat Gadamer sebagai seorang filosofis adalah ketika dia mengajukan serangkaian klaim ontologis tentang daya dan cara kerja dari apa yang disebut dalam metafisika tradisonal dengan jiwa manusia. Hermeneutika filosofis menyibukkan diri dengan apa yang membuat pemahaman jadi mungkin dan kenapa pemahaman itu bisa memungkinkan.
Dan untuk dimaklumi bahwa tidak setiap teknik interpretasi untuk mendapatkan pemahaman bersifat filosofis. Teknik itu paling-paling hanya mengundang pertanyaan filosofis, ketika yang dipersoalkan adalah kenapa teknik ini atau itu yang dipakai untuk kasus tertentu, atau bagaimanakah penerapannya secara faktual ke dalam suatu kasus. Oleh karena itu, bisa dikatakan tidak ada yang filofis di dalam proses interpretasi atas kitab suci sampai proses ini juga menentukan apa yang filosofis, yang fundamental, dalam kajian atas kitab suci tersebut; tidak ada yang filosofis dalam metodologi sebuah ilmu sampai kepentingan atau relevansi filosofis metodologi tersebut dapat dikemukakan.
Secara garis besar, seluruh konsep utama hermeneutika filosofis tidak bisa di pahami sebagai tawaran metode yang lebih “ilmiah” dan lebih canggih untuk berfilsafat. Karena itulah, Gadamer menulis bahwa hermeneutika filosofis adalah kesadaran baru yang mesti dilibatkan dalam berfilsafat yang bertanggung jawab;hermeneutika filosofis mencerahkan sikap pencerahan yang dengan angkuh mengonstruksi syarat – syarat utama penelitian dan dia sendiri jadi subjeknya; pengalaman hemeneutis yang jadi inti hemeneutika filosofis adalah pengalaman baru di dorong oleh pengalaman itu sendiri. Hermaneutika filosofis ingin menunjukkan bahwa pemahaman adalah keterbukaan dan ketanggapan yang rendah hati terhadap apa yang akan di pahami. Sikap ini berbeda sekali dengan pendakuan yang pongah dan dominatif metodologi ilmu pengetahuan modern, sebab justru akan menutupi ruang gerak kebenaran itu sendiri.
Jika filsafat hemeneuritis diartikan sebagai kumpulan panduan tentang bagaimana memahami dan menginterprestasi, maka hemeneuritika filosofis sesungguhnya adalah pengujian teoritis atas syarat kemungkinan filsafat hemeuniritis tersebut. Dari sini bisa dilihat keradikalan hermeneutika filosofis, karena dia mempertanyakan setiap legitimasi pendekatan apa pun terhadap pemahaman dan interpretasi. Setiap pendekatan bisa menunda atau menambatkan legitimasinya pada hipotesis, sementara filsafat tidak bisa begitu, karena hakikat tugasnya adalah mempersoalkan legitimasi itu sendiri. Legitimasi kerja-kerja hermeneutis (memahami, menafsirkan, menerjemahkan, berdialog, dan seterusnya) adalah tema-tema filosofis.
Keuniversalan hermeneutika filosofis adalah gerak dari teks menuju pengalaman, artinya pemahaman atau memahami bukanlah aktivitas yang dilakukan secara sadar dan berdasarkan pilihan oleh manusia ketika menghadapi sebuah objek (teks). Sebaliknya, pengalaman manusia yang tak putus-putuslah yang menjadi pancingan konstan untuk melakukan interpretasi, karena sesuatu yang asing dan yang lain terus-menerus menjumpai pengalaman manusia di dalam kehidupannya sehari-hari.
Pada pengantar Truth and Method, dijelaskan bahwa kalau yang akan dikajinya adalah persoalan hermeneutika, karena persoalan pemahan dan interpretasi yang tepat demi menemukan kebenaran yang terdapat di dalam apa yang akan dipahami dan ditafsirkan bukan hanya menjadi urusan ilmu pengetahuan modern, namun juga menyangkut totalitas pengalaman manusia dengan dunia. Dengan menggunakan analisis-analisis sebagai berikut:
Pertama, analisis atas konsep permainan yang menyimpulkan bahwa didalam sebuah permainan yang menyimpulkan bahwa dalam sebuah permainan bukan pemain yang memainkan permainan, akan tetapi permainanlah yang memainkan pemain. Pemain “dimainkan” (being played) oleh permainan. Satu hal yang menjadi keunikan Gadamer adalah analisis ini didasarkan pada rana estetika.
Kedua, analisis atas konsep-konsep yang berkaitan dengan historikalitas pemahaman. Di sini Gadamer menyatakan bahwa kesadaran diri seorang individu, yang mengetahui makna secara reflektif dan menganggapnya objektif, hanyalah letupan sesaat dalam sirkuit kehidupan histori yang tertutup. Sebaliknya, hidup menyejarah sesungguhnya adalah menyadari bahwa pengetahuan tentang diri sendiri takkan pernah utuh dan sempurna, sebab pengetahuan diri itu berangkat dari apa yang secara histories sudah begitu adanya (pre-given), yaitu apa yang disebut Hegel dengan “substansi”. Substansi ini adalah basis bagi makna dan sikap subjektif yang membatasi setiap pemahaman atas tradisi.
Analisis ketiga dan terakhir agar sampai pada titik terjadinya peralihan ontologism adalah langkah kembali kepada “substansi” sebagaimana yang dimaksud oleh Hegel itu. Dengan adanya ontologis, maka substansilitas kehidupan historis akan menemukan validitasnya. Gadamer mengatakan bahwa substansialitas tersebut adalah linguistikalitas keberadaan manusia.
Dari uraian di atas dapat diketahui dan dipahami bahwa hermeneutika filosofis merupakan kesadaran baru yang mesti dilibatkan dalam berfilsafat yang bertanggung jawab;hermeneutika filosofis mencerahkan sikap pencerahan yang dengan angkuh mengonstruksi syarat – syarat utama penelitian dan dia sendiri jadi subjeknya; pengalaman hemeneutis yang jadi inti hemeneutika filosofis adalah pengalaman baru di dorong oleh pengalaman itu sendiri. Hermaneutika filosofis ingin menunjukkan bahwa pemahaman adalah keterbukaan dan ketanggapan yang rendah hati terhadap apa yang akan di pahami. Sikap ini berbeda sekali dengan pendakuan yang pongah dan dominatif metodologi ilmu pengetahuan modern, sebab justru akan menutupi ruang gerak kebenaran itu sendiri.
2.Hermeneutika di era globalisasi atau modern
Di era globalisasi atau modern, hermeneutika, oleh Paul Ricoeur dengan hermeneutika regional. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah hermeneutika yang baru yang berada pada wilayah tertentu, seperti teks keagamaan (religious), teks pada umumnya, atau hanya pada persoalan dialog tatap muka, seperti yang ada dalam teori retorika. Mengingat fakta ini, tidak heran jika muncul dua gerak yang cendrung sejalan, yaitu Pertama, gerak untuk mengangkat hermeneutika regional tadi menjadi hermeneutika universal, yang disebut dengan de-regionalisasi. Namun gerak de-regionalisasi baru menjadi mungkin ketika di dalam hermeneutika dilakukan usaha-usaha untuk memberinya status epistemologis yang sama dengan ilmu-ilmu alam dan kemudian mengangkatnya ke level ontologis. Artinya usaha untuk mendudukkan hermeneutika bukan hanya sekedar cara mengetahui, akan tetapi sebagai cara mengada, yang disebut dengan radikalisasi, sehingga hermeneutikan tidak hanya menjadi umum, tetapi juga sekaligus fundamental.
Konsep de-regionalisasi pertama kali dikemukan oleh Friedrich Schleiermacher, yang kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey dan Martin Heidegger, dengan tujuan utamanya adalah mengekstrak suatu persoalan umum dari aktivitas interpretasi yang berbeda-beda, dengan corak interpretasi atas teks, dan tafsir atas kitab suci agama. Dia menggagas bagaimana interpretasi filologi dan interpretasi biblikal mencapai tingkat seni tafsir (Kunstlehre), semacam teknologi, yang bukan sekedar kumpulan tata cara dan kaidah yang tidak berkaitan. Seni tafsir ini terlembaga pada apa yang disebut seni menghindari kesalapahaman. Kalau para teoretikus tafsir dan filologis sebelumnya dia menjadikan kesalapahaman. Dan oleh karena itu, interpretasi menjadi mungkin jika kesalapaham memang tidak mustahil terjadi. Berhadapan dengan kesalapahaman ini, dia membagi cara kerja herneutika menjadi dua bagian yaitu hermeneutika longgar, dimana diandaikan dalam tindak menafsir pemahaman muncul secara otomatis; dan hermeneutika ketat, dimana diandaikan yang akan muncul secara otomatis adalah kesalapahaman. Inilah temuan baru Schleiermacher, karena kesalapahaman tidak dipandang sebagai factor x yang kebetulan bisa terjadi, tetapi sebagai bagian integral dari kemungkinan interpretasi itu sendiri, dan oleh karena itu harus “diawasi” dan disingkirkan. Bagi Schleiermacher, tugas hermeneutika adalah mengisolasi proses pemahaman sehingga muncul metode hermeneutika yang independent. Dengan begitu dia menceraikan diri dari hermeneutika yang sebelumnya, yang hanya terpaku pada persoalan bahasa asing atau teks-teks tertulis religious yaitu kitab suci. Interpretasi seperti ini yang disebut dengan interpretasi objektif, mengincar “bahasa umum/bersama” sembari tidak mengindahkan pengarang. Ketika makna sebuah kata sudah ditemukan, terlepas apakah memang begitu yang dimaksud pengarang atau tidak, maka interpretasi objektif sudah dapat dikatakan berhasil. Akan tetapi interpretasi ini juga dikatakan “negative”, karena dia menentukan batas pemahaman sendiri, sebab elemen kritisnya hanya di arahkan pada makna kata. Tawarannya adalah interpretasi teknis. Artinya, yang mesti diincar oleh interpretasi adalah subjektivitas dari orang yang bicara atau pengarang, sedangkan bahasa yang dia pakai dapat diabaikan. Jadi tugas utama hermeneutika adalah menuntaskan interpretasi yang terakhir yaitu subjektivitas dari orang bicara atau pengarang.
Sementara itu, Wilhelm Dilthey tidak hanya berupaya mengarahkan pada pembentukan epistemology, tetapi lebih dari itu dia ingin memberi fondasi yang sama kokohnya dengan ilmu alam. Namun upaya radikalisasai yang dilakukan Dilthey tidak sampai kepada titik fundamental, sebab terkendala aporia teorinya sendiri, kendatipun dia telah berupaya merevisi filsafat kehidupan agar tidak terjebak pada spekulativisme, namun persis dalam persoalan subjektivitas pengarang yang yang berjalan klindan dengan subjek-subjek lain yang mengharuskan terikat pada empirisme untuk menguraikan struktur sejarah yang melatari sebuah peristiwa sejarah atau teks-teks yang ada.
Martin Heidegger adalah pelanjut dari Dilthey, yang macet dalam proses fundamentalisasi. Namun arah yang ditujunya berbeda atau bahkan berlawanan dengan apa yang telah ditempuh pemikir hermeneutis sebelumnya. Baginya pemahaman bukanlah bagian dari kepastian pengetahuan manusia, namun merupakan kondisi ontologism manusia yang paling fundamental. Kesimpulan ini muncul karena persoalan interpretasi berkaitan dengan dilupakannya ada (the forgotten of being). Artinya yang jadi pokok disini adalah pertanyaan tentang makna ada. Heidegger menyatakan bahwa apa yang menuntun kita dalam mengolah pertanyaan adalah apa yang dicari atau dituju sendiri. Sebab teori pengetahuan (epistemologi) baru bisa berjalan kalau sebelumnya dilakukan penyelidikan yang focus utamanya adalah cara atau jalan untuk menghadapi atau bertemu dengan sesuatu yang ada (a being) bahkan sebelum dia (teori pengetahuan) itu menghadapi yang ada tersebut sebagai sebuah objek yang dihadapi subjek. Heidegger menekankan signifikansi Desain di dalam being and time, namun desain itu bukanlah sebagai subjek yang menghadapi objek objek, akan tetapi sesuatu yang ada (a being) atau dengan kata lain tempat terjadinya pengejawantahan. Jadi Heidegger terlebih dahulu menjernihkan fondasi metodologisnya, kemudian dimapankan dengan cara menderivasikannya dari prinsip yang lebih tinggi atau lebih fundamental. Suatu pendekatan yang mementingkan peranan aktif dari si pengenal dalam karya awal Heidegger kemudian hari mendapat beberapa nuansa baru, yaitu melalui anggapannya tentang penghormatan akan apa yang menampakkan diri. Kemudian tafsir yang dilakukan Heidegger juga berkembang menjadi ditafsirkan, dan bahsa menjadikan “rumahnya” (the house of being). Yang secara religious atau agama Islam kita kenal dengan Ilmu Tafsir.

















Kesimpulan
1. Hermeneutika adalah penafsiran ungkapan-ungkapan dan anggapan dari orang-orang lain, khususnya berbeda dalam lingkungan social budaya ataupun yang berada jauh dalam rentang sejarah. Dewasa ini hermeneutic sering dipersempit menjadi penafsiran teks tertulis yang berasal dari lingkungan social dan histories yang berbeda dengan lingkungan dan dunia pembaca. Hermeneutika filosofis merupakan suatu upaya untuk mengidentifikasi kondisi pemahaman manusia yang tidak bisa direduksi. Tujuan seperti yang diungkapkan oleh Gadamer secara filosofis, bukan mengidentifikasi apa yang kita dilakukan atau apa yang seharusnya kita lakukan, melainkan apa yang terjadi pada diri kita berkenaan dengan keinginan dan tindakan kita. Hermaneutika filosofis ingin menunjukkan bahwa pemahaman adalah keterbukaan dan ketanggapan yang rendah hati terhadap apa yang akan di pahami dari penafsiran teks.
2. Di era globalisasi atau modern, hermeneutika, dikenal dengan hermeneutika regional. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah hermeneutika yang baru yang berada pada wilayah tertentu, seperti teks keagamaan (religious), teks pada umumnya, atau hanya pada persoalan dialog tatap muka, seperti yang ada dalam teori retorika. usaha untuk mendudukkan hermeneutika bukan hanya sekedar cara mengetahui, akan tetapi sebagai cara mengada, yang disebut dengan radikalisasi, sehingga hermeneutikan tidak hanya menjadi umum, tetapi juga sekaligus fundamental.
3.
Daftar Pustaka

Abusamah, Buku Tunjuk Ajar, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, UIR Pekanbaru, 2008.
Abusamah, Buku Tunjuk Ajar, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, UIR Pekanbaru, 2008.
A .Hanafi, Pengantar Filsafat, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1981
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media Bandung,2008.
Inyiak Ridwan Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer, Jogjakarta Ar-Ruz Media, 2008.
M.Amin, Falsafah Kalam Di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, 2004.
Muhammad Iqbal, Sain dan Islam, Wacana, Dilema, dan Harapan, Penerbit Nuansa, 2007.
R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT.Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1995.
Soedojo, Peter, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,Gadjah Mada University Pres, 2004
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, PT.Remaja Rosda Karya Bandung,2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar