Senin, 06 Desember 2010

JECDERRID

BAB I
PENDAHULUAN

Membaca Derrida tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah yang melatar belakanginya. Kita juga tidak bisa gegabah dalam memetakan konsep pemikiran Derrida. Sebelum saya memaparkan konsep-konsep Derrida tentang dekontruksi, intertekstualitas, trace dan logocentrisme tentunya saya harus memberikan penjelasan tentang para pemikir yang mempengaruhi Derrida. Dalam pergulatan pemikiran Derrida banyak dipengaruhi oleh fenomenologinya Hussrel dan Heidegger, psikoanalisisnya Freud dan genealogi moralnya Nietzstche.
Karya-karya Derrida memang susah sekali untuk di interpretasikan. Selain dalam penulisnya menggunakan bahasa prancis klasik, Derrida menggunakan bahasa yang seringkali memang susah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan ambigu. Tulisan seperti ini sepertinya sengaja digunakan Derrida supaya tidak terjebak pada logosentrisme. Hal ini banyak diakui oleh para reader Derrida. Barangkali saya juga salah dalam memberikan interpretasi tentang pemikiran Derrida. Tapi saya masih meyakini perkataan Derrida tentang author is dead.
Dengan demikian ulisan-tulisan Derrida masih membuka peluang yang besar untuk dikoreksi kembali. Derrida tidak pernah menganggap tulisanya sebagai karya yang fixs. Dia masih memberikan ruang yang luas dalam meninjau ulang tulisanya. Untuk menjelaskan Derrida, saya berkepentingan untuk memberikan sedikit paparan tentang strukturalisme.
BAB II
PEMBAHASAN
Dekonstruksi adalah istilah yang populernya ada pada kajian filsafat atau kultur-kebudayaan. merupakan hasil olah fikir jacques “el-biar” derrida atas istilah sebelumnya seperti destruksi oleh filsuf macam heidegger hingga husserl. jika dalam kata destruksi kita berhadapan dengan pengertian penghancuran, (maka) dalam dekonstruksi seolah ada makna pembangunan kembali. derrida adalah seorang filsuf prancis keturunan yahudi aljazair (imigran afrika utara, just like zinadine sidane) yang mati sekitar tahun 2004 silam. pemikiran derrida tentang dekonstruksi ini banyak mendapat kritik keras dari ahli2 filsafat lain sehingga ada istilah derridium yang merujuk pada kata delirium (orang yang menderita gangguan ilusi). dekonstruksionisme ala derrida ini dianggap terlalu mengada2 dan intelektual gimmick belaka. Memang dalam ranah pendekatan/epistemologi filsafat modern atau kontemporer (atau sebut saja neo-liberal-lah).
Nietzsche, Freud, Husserl dan Heidegger adalah orang-orang yang mengilhami dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi secara umum dilakukan dengan meletakkan sous rature oleh Nietzsche pada “pengetahuan”, Freud pada “psikhe”-nya dan Heidegger pada “Mengada” (Being)-nya. Nietzsche adalah orang pertama yang memulai proyek dekonstruksi. Kritik-kritik tajam yang diarahkan pada filsafat Barat dan seluruh praktek perabadan Barat adalah suatu pekerjaan dekonstruktif. Terutama sekali yang mempengaruhi Derrida adalah gaya penulisan filosofisnya yang bersikukuh dengan sikap skeptis terhadap klaim-klaim pengetahuan dan kebenaran. Dan membebaskan pikiran dari batas-batas konseptual yang mengurungnya.
Nietzsche bersikap skeptis terhadap metode dan konsep, kemudian mengalihkannya pada metafor dan bahasa figuratif, di mana segala kebenaran lahir dari sana. Filsafat dari Plato sampai sekarang, dengan menggunakan tirani rasio selalu menyingkirkan segala hal yang berkaitan dengan bahasa figuratif. Metafora dan segenap bahasa figuratif adalah kegairahan hidup yang menyuguhkan keragaman akan pemahaman. Nietzsche berusaha menghidupkan kembali tradisi yang dikubur oleh rezim rasio, bahwa kebenaran makna adalah relatif, bermetafora dan bergeser terus. Metafor-metafor bahasa inilah yang menjadi titik tolak tulisan-tulisan Derrida.
Dekonstruksi juga dilakukan Freud dengan mengusung tema pikiran tidak sadar, di mana sebelumnya kesadaran dan rasionalitas selalu menjadi superior dalam urusan kesadaran. Freud juga mempengaruhi “tulisan” (writing) Derrida, terutama mengenai tafsir mimpi yang diungkap melalui bahasa simbolik. Husserl mengenalkan metode menempatkan kata dalam tanda kurung (einklamerung).
Tujuan dari einklamerung semacam ini adalah menangguhkan sementara kata atau objek yang tidak memadai. Heidegger juga mengenal metode ini, dengan memberi “tanda silang” (Überqueren). Sebuah kata diberi tanda silang apabila maknanya dianggap tidak memadai namun masih berguna. Sehingga kata dibiarkan saja tercoret di bawah tanda silang. Heidegger sering menyilang kata “Mengada” (Being), sehingga kata yang tertulis menjadi “Mengada”.
Dalam Of Grammatology Derrida menjelaskan tanda melalui “jejak” (trace). Dengan kalimat terkenalnya Derrida menyatakan, “tanda adalah sebutan-jelek terhadap sesuatu” (sign is that ill-named thing), inilah cara satu-satunya menyelamatkan filsafat yang terinstitusional (Derrida, 1976: 19). Tanda tidak memiliki kehadiran, ia akan selalu ditentukan jejaknya yang tidak hadir. Tanda adalah sesuatu yang tidak utuh dan terus dipertukarkan dengan makna lain serta terus-menerus bergeser. Maka makna menjadi tertunda sampai batas yang tak berhingga, di sana lah différance mulai sedikit terjelaskan.
Dengan demikian dekonstruksi tidaklah identik dengan nama Derrida, sebab maknanya bisa bergeser ke Nietzsche, Freud, Heidegger atau tokoh dekonstruksi yang datang belakangan. Sebab bila trace menempatkan kata pada ruang makna yang berjejak, maka demikianlah maksud Derrida atas ketidakidentikan dekonstruksi dengan namanya. Atau bahkan ia pun sesungguhnya mendekonstruksi namanya sendiri, sebagaimana yang ia sering nyatakan.
Dekonstruksi ala Derrida
Lahirnya peradaban Barat adalah bentuk pemujaan terhadap logos setidaknya demikianlah yang dibaca Derrida ketika dikaitkannya dengan logosentrisme. Filsafat yang notabene sebagai pelaku utama peradaban Barat, selama ini hanya mampu menggantungkan diri pada logosentrisme (bersinonim dengan metafisika). Memusatkan dan mengembalikan semua pencarian kebenaran pada logosentrisme. Pusat selalu menandai kesatuan konstan suatu kehadiran eidos, archè, telos, energeia, ousia (esensi, eksistensi, subtansi, subjek), aletheia, transendentalitas, kesadaran atau kata hati, Tuhan, manusia, dan seterusnya.
Kumpulan logos tersebut antara lain: Idea, Tuhan, Rasio, Empiri, Kehendak, Roh Absolut, Materi, Struktur, dan sebagainya. Jadi apa yang ditafsirkan Nietzsche dengan “Tuhan” sama arti dengan logosentrismenya Derrida. Filsafat Barat mengasumsikan ada kebenaran esensial yang melatarbelakangi bentuk luar kebenaran (penanda) yang langsung berkaitan dengan sesuatu yang transendental yang stabil dan kokoh (logos). Di mana semua bentuk luar kebenaran harus bertolak pada kebenaran esensial yang transendental.
Sebanding dengan logosentrisme adalah fonosentrisme dan phalosentrisme phallus bukan semata organ aktual, namun sebuah penanda yang menggantikan seluruh penanda yang menandakan setiap hasrat terhadap segala ketidakhadiran. Watak logosentrisme ini kemudian melibatkan diri dalam oposisi biner, yang memberikan hak istimewa pada terma-terma super. Pengoposisian yang berkaitan dengan semiologi adalah oposisi penanda/petanda.
Derrida melihat ketidakmungkinan mencapai kebenaran atau makna tunggal melalui asumsi-asumsi logosentrisme, karena dekonstruksi selalu bekerja dalam teks-teks filsafat yang terinstitusional. Dekonstruksi pada awalnya adalah pembacaan teks pada sastra, ia bergerak di wilayah sastra. Namun pada akhirnya dekonstruksi masuk ke dalam seluruh wacana filsafat. Jadi dekonstruksi itu pembacaan filsafat secara sastrawi. Dekonstruksi adalah metode membaca teks secara sangat cermat hingga menemukan ketidakkonsistenan dan paradoks dalam konsep-konsep teks secara keseluruhan.
Dekonstruksi tidak pernah membangun sebuah sistem filsafat, bahkan berkebalikan dari itu. Ia menyusup, menyebar dan menjangkiti sistem paradigma filsafat Barat yang telah terprogram oleh logosentrisme. Sekali virus dekonstruksi masuk ke dalam program tersebut, ia akan mampu mengubah diri lewat beragam cara yang rumit dan mereproduksi diri dalam setiap teks filsafat yang pada akhirnya siap menggerogoti program tersebut.
Namun demikian tugas dekonstruksi tidak semata-mata membongkar, tapi juga menginskripsikannya kembali dengan cara lain. Seperti yang Derrida (1976) katakan, …tugas dekonstruksi adalah …membongkar (deconstruire) struktur-struktur metafisis dan retoris yang bermain dalam teks, bukannya untuk menolak atau menyingkirkan struktur-struktur tersebut, melainkan untuk mendinskripsikannya kembali dengan cara lain. Cara mendinskripsikannya dengan memanfaatkan penanda bukan sebagai kunci transendental yang akan membuka pintu gerbang jalan kebenaran, tapi digunakan sebagai bricoleur atau alat-nya si pemikir alat yang positif.
Semua filsafat Barat, juga pada fenomenologi dan strukturalisme, adalah dua institusi filsafat yang ingin membuktikan bahwa tuturan adalah tempat aktualisasi kebenaran dan makna. Husserl mengklaim bahwa kehadiran diri ada dalam suara (phone). Suara yang dimaksud adalah suara dalam kesendirian batin: “Ketika bicara saya mendengar diriku sendiri. Saya bicara sekaligus mendengar dan memahami”. Husserl ingin menyodorkan fakta-fakta psikis yang diderivasi dari living present, dan membuktikan tuturan lebih dekat dengan psikis dari pada tulisan yang cenderung berjarak. “Makna kehadiran” atau fenomenologi menamainya “kehadiran langsung” (living present) adalah kesadaran yang ditata dan mendapatkan makna yang berdimensi waktu.
Demikian juga Saussure membuktikan bahwa tuturan adalah sumber kebenaran. Berbeda dengan tulisan yang berlumuran segala macam ketertutupan makna, dalam tuturan ada hubungan langsung suara dan rasa (sense), karena ada kedekatan dengan kehadiran-diri yang memuat serangkaian makna di dalamnya. Jika fenomenologi dan strukturalisme mencari kebenaran melalui pemusatan elemen-elemennya.
Hal ini berkebalikan dengan apa yang dilihat Derrida. Semua usaha pemusatan, baik pada “kata hati” atau “struktur” akan dihadapkan pada “situasi kebuntuan penafsiran” (aporia), di mana pusat tidak lagi dapat bekerja. Tuturan pada suatu saat akan menemui tindakan atau perkataan ambigu ketika penutur mengalami keraguan dengan apa yang dimaksudkan dalam tuturannya. Aporia menunjukkan bahwa pusat pada saatnya adalah jalan buntu bagi penafsiran. Justru pada saat kebuntuan terjadi, bagi aporia adalah segala macam tempat makna akan terjejaki. Bukan dengan menunggalkan makna melalui pengoposisian, tapi membuat plural makna dengan melepas pemisah oposisinya.
Dari semua tradisi filsafat Barat, tulisan selalu diberi tempat kedua dibandingkan tuturan. Ia berpredikat sebagai transkripsi fonetis; artifisial; teralienasi; mekanis; merusak kemurnian kehadiran; orang asing; medium yang tak memiliki rupa dan sosok (depersonalized); bayangan seram yang jatuh di antara maksud dan makna, antara tuturan dan pemahaman. Tulisan adalah ancaman bagi pandangan tradisional yang mengisolasi kebenaran dengan kehadiran-diri bahasa yang bisa mengekspresikan diri.
Tulisan yang ditangan-duakan, semakin memperlihatkan oposisi biner dalam semua filsafat Barat. Derrida mengkritik bahwa mereka lupa men-sous rature-kan oposisi biner, dan tidak memperkarakan oposisi tersebut. Penghapusan oposisi tuturan/tulisan adalah praktek grammatologi, yakni “ilmu tentang tulisan”, yang membalik hierarki dan orientasi teori bahasa yang bukan tuturan, tapi tulisan.
Derrida tidak ingin membuktikan bahwa tulisan adalah sesuatu yang lebih mendasar dari tuturan. Dekonstruksi adalah aktivitas pembacaan yang terikat dengan teks dan tidak bisa berdiri sendiri sebagai sistem operasi konsep-konsep yang tertutup. Pembacaan teks di sini lebih berarti menunda makna kehadiran yang di anggap bersemayam di balik teks tersebut, baik dalam teks tuturan dan tulisan. Pembongkaran selubung makna yang menutupi teks adalah apa yang ingin dipentaskan dalam aksi-aksi grammatologis.
Grammatologi awalnya adalah proklamasi kemenangan tulisan atas tuturan melalui pembalikan hierarki struktur dalam teks. Grammatologi juga merupakan cara kerja dekonstruksi yang ditujukan pada struktur dalam teks tulisan itu sendiri. Teks tulisan bagi grammatologi adalah suatu tanda (sign) yang berkontradiksi antara penanda dan petandanya, yang menghilangkan pusat teks melalui penjejakan (trace) makna. Ketika pusat tercerabut dari tempatnya, ia pun akan menimbulkan ketidakstabilan, yang memberi petunjuk pada bahasa akan kebebasan permainan.
Pertarungan penanda dan petanda bukanlah metode penguasaan dengan mencari kesatuan yang bermuara pada petandanya, namun dengan penjejakan (trace). Sehingga runtuhnya oposisi biner menempatkan teks menjadi polisemi dalam permainan ketidaktertangkapan makna secara terus-menerus atau diseminasi. Usaha tersebut memerlukan desublimasi konseptual atau “keterjagaan” yang memiliki kekuatan menelanjangi sikap Barat terhadap pemikiran dan bahasa.
Dekonstruksi bisa dijelaskan dengan cara lain melalui cara kerja différance. Différance adalah manifestasi dari dekonstruksi penanda secara grafis. Différance seperti halnya tulisan adalah pelafalan anonim yang kebal terhadap segala bentuk reduksi. Arti dari différance sendiri berada pada posisi menggantung, antara dua kata “to differ” (berbeda) dan “to defer” (menunda).
Status makna kata yang menggantung ini adalah pembuktian tidak utuhnya kata différance itu sendiri. Sekaligus membuktikan kelemahan Saussure, yang menempatkan struktur sebagai pusat yang menyatukan perbedaan bahasa yang berisi oposisi dan men-superior-kan tuturan dari pada tulisan. Status menggantung juga mempersilahkan grammatologi untuk bertindak, ketidakpastian dan tertundanya makna terus-menerus adalah bagaimana grammatologi diterapkan secara grafis.
Pelafalan différance meskipun pada akhirnya melahirkan struktur diferensial dalam tulisan, namun tidak menghasilkan kehadiran. Huruf “a” dalam kata itu mengingatkan kita bahwa, kata yang dilafalkan secara sempurna selalu tidak hadir, dia dibentuk melalui rangkaian kesalahan pelafalan yang tak berujung, bahkan dalam struktur grafis sekalipun.
Dekonstruksi juga mereproduksi beragam pengertian yang menyertainya, namun pada akhirnya tidak melahirkan definisi yang jelas. Derrida mengingatkan berbagai pengertian tersebut bukanlah kata dan konsep. Pengertian-pengertian tersebut adalah kata yang tidak utuh karena maknanya harus ditunda. Mereka harus saling dipertukarkan satu dengan lainnya secara acak, sehingga membentuk mata rantai-mata rantai kata.
Semiologi sebagai ilmu pertandaan yang bekerja mengoposisikan penanda dan petanda dengan metode yang regorous, pada akhirnya ketika dijangkiti virus dekonstruksi dengan sendirinya akan menghadapi kehancuran diri. Penanda sebagai bentuk material dari tanda bukan lagi sebagai derivasi langsung dari petanda. Struktur yang selama ini menjamin adanya kehadiran makna dalam bahasa tidak lagi mendiami tempatnya. Hubungan pertandaan tidak ditentukan oleh struktur sebagai pusat kekuatan makna yang bermuara pada petanda yang tunggal. Sebab pusat sebagaimana yang dibaca Derrida atas Lévi-Strauss terhadap mitologi adalah laksana ilusi historis.
Maka makna itu ditentukan oleh jejak (trace) penandanya, yang senantiasa berjejak, bergeser, berpindah ke sembarang arah. Sehingga teks adalah permainan ketidakpastian polisemi bahasa yang diseminasif. Dengan membalik struktur hierarki dalam hubungan pertandaan yang sekaligus menghilangkan oposisinya, maka tidak ada superioritas pada salah satu termanya. Demikianlah penanda akan senantiasa bergeser terus-menerus.



BAB III
KESIMPULAN

Dekonstruksi adalah istilah yang populernya ada pada kajian filsafat atau kultur-kebudayaan. merupakan hasil olah fikir jacques “el-biar” derrida atas istilah sebelumnya seperti destruksi oleh filsuf macam heidegger hingga husserl. jika dalam kata destruksi kita berhadapan dengan pengertian penghancuran, (maka) dalam dekonstruksi seolah ada makna pembangunan kembali. derrida adalah seorang filsuf prancis keturunan yahudi aljazair (imigran afrika utara, just like zinadine sidane) yang mati sekitar tahun 2004 silam. pemikiran derrida tentang dekonstruksi ini banyak mendapat kritik keras dari ahli2 filsafat lain sehingga ada istilah derridium yang merujuk pada kata delirium (orang yang menderita gangguan ilusi). dekonstruksionisme ala derrida ini dianggap terlalu mengada2 dan intelektual gimmick belaka. Memang dalam ranah pendekatan/epistemologi filsafat modern atau kontemporer (atau sebut saja neo-liberal-lah).








DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-fayadl, Muhammad, 2005. Derrida, Lkis Yogyakarta.
Asyhadi, Nurudin 2004. Hampiran Hamparan Gramatologi Derida, Lkis Yogyakarta.
Barker Cris, 2000, Cultural Studies Teory And Practice, Sage Publication, London. Terj. Team Kunci Cultural Studies, 2005. Cultural Studies Teori Dan Praktik Bentang, Yogyakarta.
Culler, Jonathan, 1979. “Jacques Derrida”, dalam John Sturrock, ed., Structuralism and Since: From Lévi-Strauss to Derrida, Oxford University Press, New York, h. 249-292. terj. Muh. Nahar 2004 Jp press Surabaya.
Derrida, Jacques, 1976. Of Grammatology, terj. Gayatri Chakravorty Spivak, The John Hopkins University Press, Baltimore and London. Terj. Ridwan Muzir ARRUS Jogyakarta. 2003.
Hardiman, Budi, F.2003. Heidegger dan mistik keseharian Suatu pengantar menuju Sein Und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta.
Lechte, John, 2001. 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas, terj. A. Gunawan Admiranto, Kanisius, Yogyakarta.
Sarup, Madan, 2003. “Derrida dan Dekonstruksi”, Posstrukturalisme dan Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Aginta Hidayat, Jendela, Yogyakarta, h. 51-98. Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa, Kanal, Yogyakarta.
Majalah Basis Edisi Derrida no. 11-12 Tahun Ke 54, November-Desember 2005 Yogyakarta
http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/02/11/menelusuri-jejak-pemikiran-derrida/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar