Kamis, 09 Desember 2010

analisa lingustik

Analisis Linguistik surah al-fatihah ayat 1-7
A. Lafald Surat Al-Fatihah ayat 1-7
                                   
B. Terjemah Surah Al-Fatihah ayat 1-7
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
2. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai di hari Pembalasan.
5. Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
6. Tunjukilah kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
C. Tafsir Keseluruhan Surah Al-Fatihah ayat 1-7
1. Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah Ini dengan menyebut nama Allah. setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
2. Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah Karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya Karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah Karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
3. Rabb (Tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
4. Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
5. Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, Karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
6. Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
7. Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat Ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.[9] yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
D. Analisis Linguistik Surah Al-fatihah ayat 1-7
1. Fonem
a. Rabb (al-fatihah/1:2)
secara etimologi berarti, “pemelihara” pendidik, pengasuh, pengatur kata Rabb bisa dipakai salah satu nama Tuhan karena Tuhanlah yang secara hakiki sebagai pemelihara, pendidik, pengasuh dan pengatur.
b. Ar-Rahman, ar-Rahim (al-fatihah/1:3)
kata Ar-Rahman terambil dari Ar-Rahmah yang berarti belas kasihan, Yaitu suatu sifat yang menimbulkan perbuatan memberi nikmat dan karunia. Jadi, kata Ar-Rahman berarti “yang berbuat(memberi)nikmat dan karunia. Kata ar-rahim juga diambil dari kata ar-rahmah yang berarti yang mempunyai sifat belas kasihan dan sifat itu tetap ada padaNya selama-lamanya.
Kata ar-rahman dan ar-rahim maksudnya bahwa Tuhan telah member nikmat yang banyak dengan murah dan telah melimpahkan karunia yang tidak terhingga, karena Dia bersifat belas kasihan kepada makhlukNya. Karena sifat belas kasihan itulah merupakan sifat yang tetap bagiNya, maka nikmat dan karunia Allah tiada putus-putusnya.
2. Morfologi
   
Ada dua macam bacaan yang berkenaan dengan malik. Pertama dengan memanjangkan ma dan kedua dengan memendekannya. Menurut bacaan yang pertama, malik “ yang memiliki”(yang empunya) sedangkan bacaan yang kedua artinya Raja kedua bacaan tersebut benar.
Dan Ad-Din banyak artinya: 1. Perhitunngan 2. Ganjaran, pembalasan 3. Patuh 4.menundukan 5. Syariat agama yang selaras di sini ialah dengan arti pemmbalasan jadi maliki yaumiddin maksudnya adalah Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak denghan sepenuhnya terhadap semua mahluk-Nya pada hari pembalasan.
3. Sintaksis
    
a. Iyyaka (hanya kepada Engkau).Iyyaka adalah dhamir untuk orang kedua untuk kedudukan mansub karena menjadi maf’ul bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf’ul bih harus sesudah fi’il dan fa’il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian dalam balaghah menunjukan qasr, yaitu pembatasan yang diartikan “hanya”. Jadi arti ayat ini hanya kepada engkau saja kami menyembah, dan hanya kepada Engkau saja minta pertolongan.
Iyyaka dalam ayat ini diiulang dua kali, guna untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta untuk dapat mencapai kelezatan munajat(berbicara) dengan Allah.
b. Na’budu pada ayat ini didahulukan penyebutanya dari pada nasta’inu, karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-Nya. Tetapi pertolongan Allah kepada hambaNya adalah hak hamba itu. Melihat kata-kata na’budu dan nasta’in secara bahasa adalah untuk memperlihatkan kelemahan manusia.
4. Semantik
1). Akidah dan Ibadah
Bangsa Arab baik yang pernah menganut ajaran-ajaran Nabi Ibrahim maupun tidak, sebagian besar telah menjadi penganut kepercayaan wasani, penyembah patung-patung dan dewa sehingga menurut riwayat disekitar ka’bah ada 360 buah patung. Maka datanglah al-qur’an untuk menyucikan akidah manusia bangsa arab waktu itu dari syirik melalui surah al-fatihah. Seperti petikan dalam al-fatihah/5 :
    
2). Hukum
Allah memberi tuntunan hukum dan peraturan dalam firman-Nya :
  
3). Janji dan Ancaman
.     
Allah SWT menjanjikan kepada manusia yang beriman dan berbuat baik dengan limpahan karunia serta nikmat.
   
Pada hari itu (pembalasan) manusia akan dibalas. Surge untuk mereka yang beriman dan neraka untuk mereka yang ingkar.
   
         
Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus akan berbahagia, dengan ini dapat dipahami adanya janji dan
Tugas : dari sawaluddin

Senin, 06 Desember 2010

KEMUNDURAN ISLAM DI ASIA TENGGARA

BAB I
PENDAHULUAN
Menatap dunia masa kini tentunya tidak sama halnya dengan menatap dunia masa lalu. Hal ini sangat berkaitan dengan cara pandang para pelaku sejarah (masyarakat) yang hidup pada zamannya. Sebab cara pandang ini berdasar pada standar kemajuan yang seolah-olah telah menjadi nota kesepahaman dan kesepakatan masyarakat dalam menatap kehidupan di zamannya. Terlebih lagi ketika ada diskursus mengenai kebudayaan. Tentunya standar kemajuan tersebut akan melahirkan suatu indicator-indikator sebagai tolak ukur terhadap gejala-gejala perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Sehingga penilaian maju mundurnya suatu kebudayaan masyarakat tertentu bisa dilakukan ketika indikasi perubahan sosial mulai bermunculan. Pendek kata, yang menyebabkan munculnya perbedaan cara pandang masyarakat terhadap dunianya adalah bahwa standarisasi kemajuan mempunyai kelemahan terhadap batasan kronologis waktu. Tak pelak lagi, memang kehidupan kita terbatas oleh “ruang dan waktu”.
Subjektif merupakan klaim yang lebih banyak benarnya ditimpakan pada penilaian nonuniversal terhadap suatu kebudayaan masyarakat. Subjektivitas lebih dominan ketika sentiment-sentimen rasa (ras, suku, agama, keturunan, klaim geografis, kekuasaan, dll) mengarogansi cara pandang terhadap suatu kebudayaan masyarakat tertentu. Lebih parah lagi yang terjadi adalah penolakan fakta sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemandegan Intelektual
Dinamika pendidikan di masa-masa kejayaaan Islam adalah sektor yang paling diunggulkan. Barangkali hal ini berkaitan dengan semangat keilmuan dalam Islam seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Keilmuan sebagai dasar pokok bangunan intelektual Islam. Keilmuan sebagai pembangun peradaban manusia. Keilmuan sebagai pengayaan intelektual guna melepaskan diri dari kemiskinan ilmu yang bisa berakibat pada kebodohan yang untuk selanjutnya sangat mungkin terjatuh dalam jurang kekafiran.
Sejak runtuhnya kekhalifahan Islam, secara global telah terjadi stagnasi pemikiran dalam umat Islam. Kemandegan pemikiran tersebut selain dipicu oleh hancurnya simbol tatanan kebudayaan di Bagdad, juga karena estafeta generasi perjuangan intelektual yang mengalami carut marut. Proses transfer nilai-nilai antar generasi yang kurang, baik nilai-nilai ruh pergerakan maupun nilai-nilai kultural yang membangun peradaban itu sendiri. Sehingga pada masa-masa selanjutnya terjadilah pergerakan-pergerakan tanpa ruh, gagap nilai, kebimbangan, pragmatisme yang mejadikan pergerakan itu sendiri berjalan tanpa visi dan misi mulia yang cukup jelas. Ritual-ritual kehidupan umat Islam yang berjalan tanpa nilai-nilai yang berakibat pada kelahiran dogma-dogma ritual dalam kebudayaan Islam. Hingga saat ini dogma-dogma ritual tersebut masih bisa kita rasakan dan banyak kita temukan dalam masyarakat kita. Terutama dalam masyarakat tradisional yang dalam sejarah penerimaan ajaran Islamnya masih bersifat kultural pragmatis. Hal inilah yang terkadang melenyapkan semangat pemahaman akan suatu nilai pencapaian hikmah terhadap hakikat, akan tetapi cukup hanya sebagai kesibukan sehari-hari yang dibubuhi berbagai kepentingan sebagai syarat mutlak bahwa ibadah butuh niatan.
Semuanya yang dipaparkan di atas merupakan ”pilihan sadar” umat Islam pada waktu itu, namun yang kali sering terjadi adalah keterpurukan umat yang sedang berjalan di bawah sadar umat Islam. Konsekuensinya, sebagai akibat dari stagnasi inteletual, keterpurukan tersebut akan selalu menghinggap pada diri umat Islam dalam jangka waktu yang sangat lama. Adapun penyebab stagnasi intelektual sebagai salah satu faktor kemunduran dunia Islam adalah sebagai berikut :
1. Euforia kejayaan umat Islam masa lampau.
2. Paradigma kemapanan yang menjamur dalam setiap lini kehidupan umat Islam.
3. Penyesatan umat yang banyak terjadi sebagai pemenuhan kebutuhan politis para penguasanya.
4. adanya perubahan sistem pemerintahan Islam, yaitu dari system kekhalifahan menjadi sistem kerajaan.
5. Adanya pertentangan golongan Syiah dengan Suni, aliran Muktazilah dengan aliran Asy’ariah, kaum sufi dengan kaum syariah.
6. Masuknya adat istiadat dan ajaran-ajaran bukian Islam ke dalam keyakinan Islam, sehingga memunculkan khufarat, bidah, dan takhayul.
7. Adanya keyakinan umat Islam bahwa pintu Ijtihad telah tertutup
8. Ritualitas kehidupan yang dilegalisasi oleh dogma-dogma keagamaan.
9. Pragmatisme sebagai akibat dari masyarakat pamrih.
10. Individualisme yang semakin berkembang.
11. Privatisasi pendidikan sebagai akibat dari kapitalisme global.
12. Sadar keumatan yang masih kurang.
13. Sadar teknologi sebagai sarana keilmuan masih kurang.
Barangkali beberapa hal yang disebutkan di atas perlu kita renungkan sebagai muhasabah keumatan. Yah, itulah komitmen kita sebagai pribadi-pribadi muslim yang tangguh.
B. Keberagaman
Merupakan suatu anugerah Allah SWT terhadap apa-apa yang ada di langit dan bumi ini. Barangkali sudah merupakan sunatullah ketika keberagaman ini menjadi variabel-variabel pengkayaan kehidupan umat manusia. Dalam hukum alam, variabel-variabel tersebut saling berkaitan antara satu sama lain sebagai suatu ekosistem kehidupan. Dengan demikian, terciptalah simbiosis-simbiosis yang cukup beragam berlandaskan pada perspektif kepentingan.
Dari analogi di atas, perspektif mana yang akan kita pakai sebagai cara pandang terhadap keberagaman sesuatu. Kesepakatan perspektif menjadi sangat penting karena cara pandang terhadap suatu keberagaman berimplikasi pada cara pengambilan suatu sikap yang akan dilakukan terhadap keberagaman tersebut. Nah, perangkat seperti inilah yang akan digunakan oleh penulis sebagai alat pengkajian tentang kemunduran dunia Islam sebagai akibat dari adanya keberagaman.
Suatu ketika Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat. Hal tersebut membuktikan bahwa di masa Rasulullah SAW keberagaman umat sudah bukan hal baru lagi. Entah itu beragam dalam hal bangunan identitas suatu individu maupun masyarakat hingga pada keberagaman pola pemikiran sekalipun. Artinya, tidak terlepas dari semangat perbedaan adalah rahmat, nabi sendiri menawarkan beberapa solusi mekanis seperti musyawarah mufakat, silaturahmi maupun forum-forum lainnya. Entah rahmat itu sendiri ditafsirkan sebagai instrument pengkayaan intelektual yang pada nantinya akan menjadi komponen-komponen pembangun peradaban umat Islam.
Awal kemunduran dunia Islam dimulai dari perpecahan yang terjadi di dalam tubuh umat Islam sendiri. Perpecahan ini sendiri muncul dari keberagaman umat yang tidak disikapi secara dewasa. Keberagaman umat itu sendiri terdiri dari beberapa hal, diantaranya adalah :
1. Keberagaman Garis Keturunan (Bani)
Keberagaman ini memunculkan sentimen-sentimen kelompok garis keturunan (bani). Sehingga masing-masing kelompok merasa bahwa kelompoknyalah yang paling unggul daripada kelompok-kelompok yang lain. Nilai-nilai negatif yang dimunculkan adalah menguatnya semangat Nepotis dalam berbagai aktifitas dunia Islam terhadap kelompoknya. Akhirnya terjadilah konflik-konflik antar kelompok dalam perebutan pengaruh kekuasaan. Paling parah adalah puncak konflik yang dimunculkan yaitu terjadinya perang saudara sebagai gerakan anarkis massal.
2. Keberagaman Tafsiran (interpretasi)
Awal dari munculnya keberagaman ini adalah hasil dari interpretasi-interpretasi yang berbeda terhadap pemahaman teks-teks Al Quran maupun Hadis. Begitu juga dengan riwayat atau sejarah perjalanan Rasulullah SAW. Dari pemahaman yang beranekaragam ini maka muncullah kelompok-kelompok yang membagi dirinya berdasarkan interpretasinya terhadap beberapa hal di atas.
Yang demikian itu untuk selanjutnya berpengaruh pada keragaman ritualitas, teknis cara beribadah dan beberapa prinsip-prinsip kehidupan lainnya. Karena sifatnya yang multiinterpretatif, maka keberagaman yang satu ini sering melahirkan keberagaman-keberagaman yang lain. Ironis memang, bahwa fenomena ini sering dijadikan instrument pemicu konflik intern beragama.
Keberagaman yang telah diuraikan di atas tidak lebih dari kondisi internal yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Ketidaksiapan umat dan penyikapan yang tidak dewasa inilah yang pada nantinya akan memicu konflik-konflik yang tidak menguntungkan bagi Ukhuwah Islamiyah. Efek samping yang dihasilkan salah satunya ialah kondisi umat yang disibukkan untuk meladeni konflik-konflik tersebut. Akhirnya umat Islam hanya tersibukkan untuk melakukan manuver-manuver konflik yang makin melemahkan infrastruktur umat Islam itu sendiri. Padahal tuntutan zaman menuntut adanya perubahan pada suatu peradaban yang lebih maju .
Beberapa perubahan peradaban ke arah yang lebih maju membutuhkan perubahan paradigma. Terlebih paradigma yang dimaksud adalah suatu ideologi yang melandasi suatu perubahan tersebut. Sehingga muncullah keberagaman ideologi dengan berbagai tawaran perubahannya ke permukaan bumi ini. Bagaimana umat Islam menghadapi kondisi riil semacam ini? Ketika umat Islam disibukkan akan konflik internal yang hingga saat ini belum selesai.
Faktanya, konflik internal pada diri umat Islam ini terjadi cukup lama. Sehingga ketika dihadapkan pada realitas industri, mekanisme pasar, perbankan dan lain sebagainya sebagai jabang bayi kapitalisme global, apa tawaran Islam terhadap berbagai persoalan tersebut? Apakah selamanya kita akan menghujat sejarah?Ataukah bereuforia atas kejayaan masa lampau? Atau menolak hasil dari peradaban universal yang sudah di depan mata ini. Sahkah bila peradaban universal yang dimaksud adalah modernisasi dan westernisasi?
Bisa jadi uraian di atas merupakan dorongan langkah awal kita untuk melakukan perubahan-perubahan kultural demi tegaknya Ukhuwah Islamiyah.
C. Penjajahan Barat
Eropa mengahadapi tantangan yang sangat berat. Ternyata terdapat kekuatan-kekuatan perang Islam yang sulit dikalahkan, terutama Kerajaan Turki Usmani yang berpusat di Turki. Mereka melakukan penelitian tentang rahasia alam dengan menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya diliputi kegelapan. Setelah Christopher Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M), Vasco da Gama menemukan jalan ketimur melalui Tanjung Harapan (1498 M), keduanya jatuh ke tangan Eropa dan Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat Islam.
Kemajuan Barat melampaui Kelajuan Islam yang sejak lama mengalami kemunduran. Hal itu dipercepat oleh penemuan dan perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, penemuan mesin uap, teknologi perkapalan dan militer yang makin memantapkan mereka. Satu demi satu negeri Islam jatuh kedalam kekuasaan Eropa sebagai negeri jajahan, diantaranya India, Asia Tenggara, dan sebagian Timur Tengah.
Asia Tenggara merupakan wilayah Islam yang baru mulai berkembang dan merupakan daerah remaph-rempah terkenal pada masa itu, sehingga menjadi ajang perebutan negara-negara Eropa. dibandingkan Kerajaan Mugal, kerajaaqn-kerajaan Islam di Asia Tenggara lebih lemah sehingga dengan mudah dapat ditaklukan.
Kerajaan Islam Malaka ditaklukan Portugis pada tahun 1511 M. Sejak itu, peperangan-peperangan antara Portugis melawan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sering kali berkobar. Penjajahan terlama di Nusantara adalah di Timor Timur yang kini menjadi Negara merdeka yang terlepas dari NKRI.
Tahun 1521 M Spanyol berhasil menguasai Filipina, termasuk di dlamanya kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya Kesultanan Mindanao, Kesultanan Buayan, dan Kesultanan Sulu. Pada abad ke-16 M Denmark dan Perancis gagal menjajah Asia Tenggara dan hanya datang untuk berdagang. Tahun 1595 M Belanda berhasil memonopoli perdagangan di Kepulauan Nusantara. Oelh karena itu terjadi beberapa peperanganbesar seperti Perang Aceh, Perang Paderi di Minangkabau, dan Perang Diponegoro di Jawa.
India ketika berada pada masa kemajuan pemerintahan kerajaan mughal adalah negeri yang kaya dengan hasil pertanian. hal itu mengundang eropa yang sedang mengalami kemajuan untuk berdagang kesana. Di awal abad ke-17 M inggris dan belanda mulai menginjakkan kaki di India. Pada tahun 1611 M inggris mendapat izin menanamkan modal, dan pada tahun 1617 M belanda mendapat izi yang sama.
Kongsi dagang inggris,Britis East India Compani {BEIC}mulai berusaha menguasai wilayah India bagian timur ketika ia merasa cukup kuat, pengusaha-pengusaha setempat mencoba mempertahankan kekuasaan, dan berperang melawan inggris tahun 1761 M namun, mereka tidak berhasil mengalahkan inggris.akibatnya,daerah-daerah oudh, Bengal,dan orissa jatuh ketangan inggris. Pada tahun 1803 M, delhi, ibu kota kerajaan mughal juga berada di bawah bayang-bayang kekuasaan inggris,karena bantuan yang di berikan inggris kepada raja ketika mengalahkan aliansi sikh-hindu yang berusaha menguasai kerajaan. Mulai saat itulah inggris leluasa mengembangkan sayap kekuasaannya di anak benua India dan sekitarnya. Pada tahun 1842 M keamiran meslim sind di India di kuasainya.
Tahun 1511 M, portugis menaklukan kerajaan islam malaka{15 M }yang merupakan kerajaan islam ke dua di asia tenggara setelah samudra pasai.sejak itu, peperangan antara portugis dengan kerajaan-kerajaan islam di indonesua, portugis menjajah paling lama di timor-timor.
Akhir abad 16 M, belanda, unggris, denmark, dan prancis datang ke asia tenggara.tahun 1595 M belanda datang dengan segera dapat memonopoli perdagangan di kepulauan nusantara. Kongsi dagang VOC juga memainkan peran politik. Peperangan yang terjadi karena hal tersebut antara lain:perang aceh, perang padri,perang di ponogoro






BAB III
PENUTUP
Adapun penyebab yang menyebabkan Islam mundur di Asia Tenggara adalah :
1. Kemandegan Itelektual diantaranya:
a. Euforia kejayaan umat Islam masa lampau.
b. Penyesatan umat yang banyak terjadi sebagai pemenuhan kebutuhan politis para penguasanya.
c. Aadanya perubahan sistem pemerintahan Islam, yaitu dari system kekhalifahan menjadi sistem kerajaan.
d. Sadar teknologi sebagai sarana keilmuan masih kurang.
2. Keberagaman
3. Penjajahan Barat






DAFTAR PUSTAKA

Yatim Badri. 1993. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.Grapindo persada.
Hourani, Albert. 2004. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim. Mizan.
Hitti, Philip K. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Bandung: Sumur Bandung Terjemahan dari Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing;cetakan ketujuh
Huntington, Samuel P. 2000. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia. Qalam.
Mutholib, Abdul dkk. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam I. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
Syari’ati, Ali. Membangun Masa Depan Islam. Mizan

MUHKAM DAN MUTASYABIH

BABI
PENDAHULUAN

Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta. Ia meletakkan dan menunjukkan bagi makhluknya akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayatnya yang tegas keterangannya dan jelas cirri-cirinya. Itu semua merupakan karunianya, kepada umat manusia , dimana ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok ajaran agama untuk menyelamatkan akidah manusia dan menerangkan jalan yang lurus yang harus ditempuh.
Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tikdak di perselisihkan termasuk pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya. Firman Allah dalam surat Fussilat ayat 3 yang berbunyi:
       
Artinya :
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui (Q.S. Fussilat:3)
Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam Al-Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok dan serasi.
Tak ada yang kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat nya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pkok, dan yang bersifat partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli).











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian muhkam dan mutasyabih
Menurut bahasa, Kata محكمت berasal dari kata وأحكمت yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan . Pendapat lain mengatakan bersaldari kata حكمت الدابه و احكمت yang berarti saya menahan binatang itu. Kata الحكم berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka احكام berarti orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan antara dua orang yang bersengketa serta memisahkan antara yang hak dan batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Jadi kata محكم berati sesuatu yang dikokohkan
. احكم الكلام :إتقانه بتمييز الصدق من الكذب في أخباره ،والرشد من الغي في أوامره (Muhkam:berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat). Jadi kalau محكم: ماكان كذلك )muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya) . Jadi dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya محكم sebagaimana ditegaskan dalam firmannya:
           
Artinya:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(Q.S. Hud:1)
Dan terdapat juga dalam surat yunus ayat satu
      
Artinya :
Alif laam raa, inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.

Dalam kitab البرهان dijelaskan bahwa mukam menurut bahasa adalah:
المحكم:في لغة:ا لمنع تقول: أحكمت بمعنى ردد،ومنعت ، والحكام لمعنه الظا لم من الظلم اللجام هي التي تمنع الفرس من الا ضطراب ،وحكمه
واما في الا صطلاح: فهو ما أ حكمته با لأمر و النهي،وبيان الحلال والحرام.
Sedangkan dalam kitab منا هل العرفان في علوم القران dijelaskan bahwa محكم menurut bahasa adalah يستعملون مادة الإحكام
Kata متشابه berasal dari kata تشابه yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal تشابه dan اشابه berarti dua hal yang masing-masing menyerupai lainnya . sebagaimana firman allah yang terdapat dalam al-qur’an dalm surat al-Baqorah ayat 25:
     
Maksudnya adalah sebagian buah buahan yang serupa dengan sebahagian yang lain.
Dikatakan juga متشابهadalah متماثلا(sama).
تشابه الكلام: تماثله وتناشبه بحيث يصدق بعضه بعضا ، وقد وصف الله القران كله بأن متشابه على هذا المعنى
(Jadi tasyabuh adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebahagiannya membetulkan sebahagian yang lain)
Dalam kitab البرهان dijelaskan bahwa mukam menurut bahasa adalah:
واما المتشابه فأ صله أن يشتبه اللفظ في الظا هرمع اختلاف المعاني
Sedangkan dalam kitab منا هل العرفان في علوم القران dijelaskan bahwaالتشابه menurut bahasa adalah المشاركة في المماثلة والمشاكلة
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an seluruhnya Mutasybih, sebagaimana di tegaskan dalam Al-Qur’an surat az-Zumar ayat 23:
 •     •  
Artinya:
Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang
Dari pengertian di atas maka para ulama mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat tebagi kepada tiga yaitu :
Yang pertama: ان القران كله محكم لقو له تعا لى (semuanya muhkam)
      
Artinya:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(Q.S. Hud ayat 1 )

Yang Kedua: كله متشا به لقو له تعا لى (semuanya mutasyabihah)
  
Artinya :
… (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang …..(az-Zumar ayat 23)

Yang Ketigaوهو الصحيح أن منه محكما، ومنه متشا بها لقو له تعا لى (pendapat yang soheh sebahagian muhkam dan mutsyabih)
              •                        •            
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Secara istilah para ulama berbeda pendapat pula pada merumuskan depenisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuthi misal telah mengemukakan 18 defenisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan 11 defenisi pula yang sebagiannya di kutif dari al-Suyuthi. Diantaranya adalah:
1. أن المحكم الو ا ضح الد لالة،الظا هر الذى لا يحتمل النسخ،المتشابه فهو الخفى الذى لا يدرك معناه عقلا ولا نقلا،وهو ما استأ ثر الله تعا لى بعلمه
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus di awal-awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi ke pada-pemimpin-peminpin mazhab Hanafi
2. ان المحكم ما عرف المراد منه إمابالظهور وإما با لتأ ويل ، أ ما المتشا به فهو ما استأ ثر تعا لى بعلمه
Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya,baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kiamat. Dibangsakan kepada ahli sunnah.
3. ان المحكم ما لا يحتمل إلا وجها وا حدا من التأ ويل،أما المتشابه فهو ما احتمل أوجها .
Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan takwil. Berdiri. Dibangsakan kepada ahli ushul fiqih.
4. ان لمحكم ما استقل بنفسه ولم يحتج إلى بيان ، أ ما المتشابه فهو الذى لا يستقل بنفسه ، بل يحتاج إلى بيان ، فتارة يبين بكذا ، وتارة يبين بكذا، لحصول الاختلاف فى تأويله
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan . Mutasyabih ialayah ayat yang memerlukan keterangan. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad r.a.
5. ان لمحكم هو السديد النظم والترتيب،الذى يفضى إلى إثارة المعنى المستقيم من غير مناف، أما المتشا به فهو الذى لا يحيط العم بمعناه المطلوب من حيث اللغة ,إ لا أن تقترن به أوقرينة ، ويندرج المشترك فى المتشابه بهذا المعنى
Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak ter jangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya idikasi atau melalui konteksnya.pendapat ini dibangsakan pada pendapat Imam Harmaini
6. ان لمحكم وهو الو اضح المعنى الذى لا يتطرق إليه إشكال ،ماخوذ من الاحكام وهو الإتقان ، اما المتشابه فنقيضه ،وينتظم المحكم على هذا ماكا ن نصا وما كا ن ظاهرا ، وينتظم المتشابه ما كا ن من الألفا ظ الموهمة للتشبيه في حقه سبحانه ، و قد نسب هذا القول إلى بعض المتأخرين, ولكنه فى الحقيقة رأى الطيبى
Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepada iskal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawanya. Muhkam terdiri dari lafal nash dan zahir. Mutasyabih terdiri dari isim-isim musytarak ketiadaan lafal-lafal mubhamah (samar-samar). Pendapat ini adalah pendapat Al-Thibi
7. ان لمحكم ما كا نت دلالته راجحة، وهو النص والظا هر ، ا ما المتشابه فما كا نت دلالته غير را جحة ، وهو المجمل و المؤِول و المشكل، ويعزى هذا الر أى إلى الإ مام الرزى Muhkam ialah ayat yang tujukan maknanya kuat yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasybih ialah ayat yang di tunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu mujmal , munawwal dan musykil . Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi.
Sementara dalam buku مبا حث في علوم القرانdi jelaskan mengenai pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih antaranya adalah:
1. المحكم: ما عرف المراد منه – والمتشابه : ما استأثر الله بعلمه
Muhkam adalah ayat yang mudah di ketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya di ketahui maksudnya oleh Allah sendiri. terpenting beda.
2. المحكم:مالا يحتمل إلا وجها واحدا—والمتشابه: ما احتمل أ وجها
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
3. المحكم: ما استقل بنفسه ولم يحتج إلى بيان— والمتشابه : مالا يستقل بنفسه واحتاج إلى بيان برده لى غيره إ
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian ; ia memerlukanpenjelasn dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Dari beberapa pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutsyabih, kita dapat analisa dan simpulkan bahwa ; Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri, tanpa memerlukan keterangan, tidak memerlukan takwil serta ayatnya jelas maksudnya baik secara lafal dan maknanya.
Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas maksudnya baik secara lafal dan makna, memerlukan pentakwilan, dan keterangan serta penjelasan yang terperinci baik secara aqli dan naqli.
B. Ayat.ayat yang membicarakan munculnya al-Muhkam dan al-Mutasyabih
Pembicaraan tentang Muhkam dan mutasyabih menurut al-Zarqoni muncul karena adanya ketersembunyian maksud Allah dalam kalamnya. Ketersembunyian tersebut menurut beliau terdapat pada lafal dan makna sekaligus seperti lafal:
  
Lafal  disini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. Kata  diartikan rumput-rumput berdasarkan dari pemahaman ayat berikutnya mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian makna adalah ayat-ayat yang
membicarakan tentang sifat-sifat Allah. Seperti.
    
Mutasyabih yang muncul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
        ••             •       •    
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (Q.S.Al-Baqarah: 189).
Dari penjelasan tersebut maka Al-Zarqoni membagi ayat-ayat mutasabihah kepada tiga bagian :
1. ayat ayat yang seluruh manusia tidak dapat samapai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang Zat Allah dan hakikatnya sifat-sifatnya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal yang daib lainya firman Allah:
                                  
Artinya
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"(Q.S.Al-An A’m:59)
•               •           •    
Artinya
Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S.Luqman:34)

.


2. Ayat -ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian. Firman Allah
                              
Artinya
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S.Annisa:3)
3. Ayat –ayat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
C. Pendapat ulama tentang al muhkam- dan mutasyabih
Pembicaraan tentang muhkam dan mutasyabih telah dikemukan pada pemahasan diatas, terdapat berbagai macam sebab dan bentuknya. Maka dalam pembahasan ini kita akan membahas tentang bagaimana pendapat para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Para ulama sepakat terhadap ayat muhkam tidak perlu penjelasan yang lebih rinci, sebab ayat muhkam sudah jelas maksudnya baik dari segi lafal dan maknanya. Sebab dengan membacanya saja kita sudah paham dan mengetahui maksudnya. Namun yang jadi perdebatan para ulama adalah tentang ayat-ayat mutasyabih, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah. Akan tetapi para ulama yang rasikh ilmunya dapat mengetahui takwilnya sebagai pembeda mereka dengan orang yang awam. Ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, Al-Suyuti menyebutnya dengan ayat al-shifat, sementara Shubi al-Shalih menyebutnya dengan mutasybih al-Shifat. Adapun ayat-ayat yang termasuk ayat-mutasyabih adalah :
1. Q.S.Thaha :5.
    
Artinya
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy (Q.S.Thaha :5).



2. Q.S. Al-Qasas :88
         
Artinya
Tiap -tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
3. Q.S. Al-An’am : 18
        
Artinya
Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

4. Q.S.Al-Fath:10

     
Artinya.
Tangan Allah di atas tangan mereka,
5. Q.S.Al-Fajr: 22

     
Artinya
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.

6. Q.S. Al-Fath: 6
       
Artinya
Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka .

7. Q.S. Al-Bayyinah:8
            
Artinya
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

8. Q.S. Ali Imran:31

     •          
Artinya
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.




D. Hikmah ayat-ayat muhkamat dan mutasyahabih
Hikmah ayat-ayat Muhkamat
1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan "Wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab", sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata "rabbana la tuzighqulubana". Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
4. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah Swt.
5. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.














BAB III
KESIMPULAN

Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli,
Adapun ayat yang membicarakan ayat-ayat muhkam dan mutasybih adalah
        ••             •       •    
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (Q.S.Al-Baqarah: 189).
Sedangkan pendapat para ulama tentang ayat muhkam dan mutasyabih. Para ulama sepakat terhadap ayat muhkam tidak perlu penjelasan yang lebih rinci, sebab ayat muhkam sudah jelas maksudnya baik dari segi lafal dan maknanya. Sebab dengan membacanya saja kita sudah paham dan mengetahui maksudnya. Namun yang jadi perdebatan para ulama adalah tentang ayat-ayat mutasyabih, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah
Sedangkan hikmahnya adalah Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah Swt.








DAFTAR KEPUSTAKAAN
منا هل العرفان في علوم القران الجزِءالثا نى. الشيخ محمدعبد العظيم الزرقاني ،
الإمام جلاالدين الرحمن بن أبي بكر السيوطي،الإتقان في علوم القران
البرها ن في علوم القران ،الامام بدرالدين محمد بن عبدالله الزركسي

مناع القطان مبا حث في علوم القران
Ali Ashaabuuny, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung 1999
Manna’ Khalil al- Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, lintera Antar Nusa Halim Jaya. 2009.
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, PT. Putra Rizki Putra Semarang, 2002
Wahid, Ramli abdul Ulumul Qur’an edisi revisi, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, 2002.

MUHKAM DAN MUTASYABIH

BABI
PENDAHULUAN

Allah menurunkan Al-Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi alam semesta. Ia meletakkan dan menunjukkan bagi makhluknya akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayatnya yang tegas keterangannya dan jelas cirri-cirinya. Itu semua merupakan karunianya, kepada umat manusia , dimana ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok ajaran agama untuk menyelamatkan akidah manusia dan menerangkan jalan yang lurus yang harus ditempuh.
Ayat-ayat tersebut adalah Ummul Kitab yang tikdak di perselisihkan termasuk pemahamannya demi menyelamatkan umat Islam dan menjaga eksistensinya. Firman Allah dalam surat Fussilat ayat 3 yang berbunyi:
       
Artinya :
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui (Q.S. Fussilat:3)
Pokok-pokok agama tersebut di beberapa tempat dalam Al-Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknanya cocok dan serasi.
Tak ada yang kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat nya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pkok, dan yang bersifat partikal (juz’i) kepada yang bersifat universal (kulli).











BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian muhkam dan mutasyabih
Menurut bahasa, Kata محكمت berasal dari kata وأحكمت yang secara bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan dan pencegahan . Pendapat lain mengatakan bersaldari kata حكمت الدابه و احكمت yang berarti saya menahan binatang itu. Kata الحكم berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka احكام berarti orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan antara dua orang yang bersengketa serta memisahkan antara yang hak dan batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Jadi kata محكم berati sesuatu yang dikokohkan
. احكم الكلام :إتقانه بتمييز الصدق من الكذب في أخباره ،والرشد من الغي في أوامره (Muhkam:berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat). Jadi kalau محكم: ماكان كذلك )muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya) . Jadi dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya محكم sebagaimana ditegaskan dalam firmannya:
           
Artinya:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(Q.S. Hud:1)
Dan terdapat juga dalam surat yunus ayat satu
      
Artinya :
Alif laam raa, inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmah.

Dalam kitab البرهان dijelaskan bahwa mukam menurut bahasa adalah:
المحكم:في لغة:ا لمنع تقول: أحكمت بمعنى ردد،ومنعت ، والحكام لمعنه الظا لم من الظلم اللجام هي التي تمنع الفرس من الا ضطراب ،وحكمه
واما في الا صطلاح: فهو ما أ حكمته با لأمر و النهي،وبيان الحلال والحرام.
Sedangkan dalam kitab منا هل العرفان في علوم القران dijelaskan bahwa محكم menurut bahasa adalah يستعملون مادة الإحكام
Kata متشابه berasal dari kata تشابه yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kepada kesamaran antara dua hal تشابه dan اشابه berarti dua hal yang masing-masing menyerupai lainnya . sebagaimana firman allah yang terdapat dalam al-qur’an dalm surat al-Baqorah ayat 25:
     
Maksudnya adalah sebagian buah buahan yang serupa dengan sebahagian yang lain.
Dikatakan juga متشابهadalah متماثلا(sama).
تشابه الكلام: تماثله وتناشبه بحيث يصدق بعضه بعضا ، وقد وصف الله القران كله بأن متشابه على هذا المعنى
(Jadi tasyabuh adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebahagiannya membetulkan sebahagian yang lain)
Dalam kitab البرهان dijelaskan bahwa mukam menurut bahasa adalah:
واما المتشابه فأ صله أن يشتبه اللفظ في الظا هرمع اختلاف المعاني
Sedangkan dalam kitab منا هل العرفان في علوم القران dijelaskan bahwaالتشابه menurut bahasa adalah المشاركة في المماثلة والمشاكلة
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an seluruhnya Mutasybih, sebagaimana di tegaskan dalam Al-Qur’an surat az-Zumar ayat 23:
 •     •  
Artinya:
Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang
Dari pengertian di atas maka para ulama mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat tebagi kepada tiga yaitu :
Yang pertama: ان القران كله محكم لقو له تعا لى (semuanya muhkam)
      
Artinya:
Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(Q.S. Hud ayat 1 )

Yang Kedua: كله متشا به لقو له تعا لى (semuanya mutasyabihah)
  
Artinya :
… (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang …..(az-Zumar ayat 23)

Yang Ketigaوهو الصحيح أن منه محكما، ومنه متشا بها لقو له تعا لى (pendapat yang soheh sebahagian muhkam dan mutsyabih)
              •                        •            
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Secara istilah para ulama berbeda pendapat pula pada merumuskan depenisi muhkam dan mutasyabih. Al-Suyuthi misal telah mengemukakan 18 defenisi atau makna muhkam dan mutasyabih yang diberikan para ulama. Al-Zarqani mengemukakan 11 defenisi pula yang sebagiannya di kutif dari al-Suyuthi. Diantaranya adalah:
1. أن المحكم الو ا ضح الد لالة،الظا هر الذى لا يحتمل النسخ،المتشابه فهو الخفى الذى لا يدرك معناه عقلا ولا نقلا،وهو ما استأ ثر الله تعا لى بعلمه
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus di awal-awal surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi ke pada-pemimpin-peminpin mazhab Hanafi
2. ان المحكم ما عرف المراد منه إمابالظهور وإما با لتأ ويل ، أ ما المتشا به فهو ما استأ ثر تعا لى بعلمه
Muhkam ialah ayat yang diketahui maksudnya,baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datangnya hari kiamat. Dibangsakan kepada ahli sunnah.
3. ان المحكم ما لا يحتمل إلا وجها وا حدا من التأ ويل،أما المتشابه فهو ما احتمل أوجها .
Muhkam ialah ayat yang tidak mengandung takwil. Mutasyabih ialah ayat yang mengandung banyak kemungkinan takwil. Berdiri. Dibangsakan kepada ahli ushul fiqih.
4. ان لمحكم ما استقل بنفسه ولم يحتج إلى بيان ، أ ما المتشابه فهو الذى لا يستقل بنفسه ، بل يحتاج إلى بيان ، فتارة يبين بكذا ، وتارة يبين بكذا، لحصول الاختلاف فى تأويله
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan . Mutasyabih ialayah ayat yang memerlukan keterangan. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad r.a.
5. ان لمحكم هو السديد النظم والترتيب،الذى يفضى إلى إثارة المعنى المستقيم من غير مناف، أما المتشا به فهو الذى لا يحيط العم بمعناه المطلوب من حيث اللغة ,إ لا أن تقترن به أوقرينة ، ويندرج المشترك فى المتشابه بهذا المعنى
Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak ter jangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya idikasi atau melalui konteksnya.pendapat ini dibangsakan pada pendapat Imam Harmaini
6. ان لمحكم وهو الو اضح المعنى الذى لا يتطرق إليه إشكال ،ماخوذ من الاحكام وهو الإتقان ، اما المتشابه فنقيضه ،وينتظم المحكم على هذا ماكا ن نصا وما كا ن ظاهرا ، وينتظم المتشابه ما كا ن من الألفا ظ الموهمة للتشبيه في حقه سبحانه ، و قد نسب هذا القول إلى بعض المتأخرين, ولكنه فى الحقيقة رأى الطيبى
Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepada iskal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawanya. Muhkam terdiri dari lafal nash dan zahir. Mutasyabih terdiri dari isim-isim musytarak ketiadaan lafal-lafal mubhamah (samar-samar). Pendapat ini adalah pendapat Al-Thibi
7. ان لمحكم ما كا نت دلالته راجحة، وهو النص والظا هر ، ا ما المتشابه فما كا نت دلالته غير را جحة ، وهو المجمل و المؤِول و المشكل، ويعزى هذا الر أى إلى الإ مام الرزى Muhkam ialah ayat yang tujukan maknanya kuat yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasybih ialah ayat yang di tunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu mujmal , munawwal dan musykil . Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi.
Sementara dalam buku مبا حث في علوم القرانdi jelaskan mengenai pengertian al-Muhkam dan al-Mutasyabih antaranya adalah:
1. المحكم: ما عرف المراد منه – والمتشابه : ما استأثر الله بعلمه
Muhkam adalah ayat yang mudah di ketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya di ketahui maksudnya oleh Allah sendiri. terpenting beda.
2. المحكم:مالا يحتمل إلا وجها واحدا—والمتشابه: ما احتمل أ وجها
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih mengandung banyak wajah.
3. المحكم: ما استقل بنفسه ولم يحتج إلى بيان— والمتشابه : مالا يستقل بنفسه واحتاج إلى بيان برده لى غيره إ
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak demikian ; ia memerlukanpenjelasn dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Dari beberapa pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutsyabih, kita dapat analisa dan simpulkan bahwa ; Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri, tanpa memerlukan keterangan, tidak memerlukan takwil serta ayatnya jelas maksudnya baik secara lafal dan maknanya.
Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang tidak jelas maksudnya baik secara lafal dan makna, memerlukan pentakwilan, dan keterangan serta penjelasan yang terperinci baik secara aqli dan naqli.
B. Ayat.ayat yang membicarakan munculnya al-Muhkam dan al-Mutasyabih
Pembicaraan tentang Muhkam dan mutasyabih menurut al-Zarqoni muncul karena adanya ketersembunyian maksud Allah dalam kalamnya. Ketersembunyian tersebut menurut beliau terdapat pada lafal dan makna sekaligus seperti lafal:
  
Lafal  disini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. Kata  diartikan rumput-rumput berdasarkan dari pemahaman ayat berikutnya mutasyabih yang timbul dari ketersembunyian makna adalah ayat-ayat yang
membicarakan tentang sifat-sifat Allah. Seperti.
    
Mutasyabih yang muncul dari ketersembunyian pada makna dan lafal sekaligus adalah seperti:
        ••             •       •    
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (Q.S.Al-Baqarah: 189).
Dari penjelasan tersebut maka Al-Zarqoni membagi ayat-ayat mutasabihah kepada tiga bagian :
1. ayat ayat yang seluruh manusia tidak dapat samapai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang Zat Allah dan hakikatnya sifat-sifatnya, pengetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal yang daib lainya firman Allah:
                                  
Artinya
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"(Q.S.Al-An A’m:59)
•               •           •    
Artinya
Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Q.S.Luqman:34)

.


2. Ayat -ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian. Firman Allah
                              
Artinya
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Q.S.Annisa:3)
3. Ayat –ayat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama.
C. Pendapat ulama tentang al muhkam- dan mutasyabih
Pembicaraan tentang muhkam dan mutasyabih telah dikemukan pada pemahasan diatas, terdapat berbagai macam sebab dan bentuknya. Maka dalam pembahasan ini kita akan membahas tentang bagaimana pendapat para ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Para ulama sepakat terhadap ayat muhkam tidak perlu penjelasan yang lebih rinci, sebab ayat muhkam sudah jelas maksudnya baik dari segi lafal dan maknanya. Sebab dengan membacanya saja kita sudah paham dan mengetahui maksudnya. Namun yang jadi perdebatan para ulama adalah tentang ayat-ayat mutasyabih, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah. Akan tetapi para ulama yang rasikh ilmunya dapat mengetahui takwilnya sebagai pembeda mereka dengan orang yang awam. Ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah, Al-Suyuti menyebutnya dengan ayat al-shifat, sementara Shubi al-Shalih menyebutnya dengan mutasybih al-Shifat. Adapun ayat-ayat yang termasuk ayat-mutasyabih adalah :
1. Q.S.Thaha :5.
    
Artinya
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy (Q.S.Thaha :5).



2. Q.S. Al-Qasas :88
         
Artinya
Tiap -tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.
3. Q.S. Al-An’am : 18
        
Artinya
Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. dan dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

4. Q.S.Al-Fath:10

     
Artinya.
Tangan Allah di atas tangan mereka,
5. Q.S.Al-Fajr: 22

     
Artinya
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.

6. Q.S. Al-Fath: 6
       
Artinya
Dan Allah memurkai dan mengutuk mereka .

7. Q.S. Al-Bayyinah:8
            
Artinya
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.

8. Q.S. Ali Imran:31

     •          
Artinya
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.




D. Hikmah ayat-ayat muhkamat dan mutasyahabih
Hikmah ayat-ayat Muhkamat
1. Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
2. Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
3. Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
4. Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
Hikmah Ayat-Ayat Mutasyabihat:
1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
2. Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan "Wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albab", sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata "rabbana la tuzighqulubana". Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3. Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
4. Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah Swt.
5. Mendorong kegiatan mempelajari disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.














BAB III
KESIMPULAN

Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli,
Adapun ayat yang membicarakan ayat-ayat muhkam dan mutasybih adalah
        ••             •       •    
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung (Q.S.Al-Baqarah: 189).
Sedangkan pendapat para ulama tentang ayat muhkam dan mutasyabih. Para ulama sepakat terhadap ayat muhkam tidak perlu penjelasan yang lebih rinci, sebab ayat muhkam sudah jelas maksudnya baik dari segi lafal dan maknanya. Sebab dengan membacanya saja kita sudah paham dan mengetahui maksudnya. Namun yang jadi perdebatan para ulama adalah tentang ayat-ayat mutasyabih, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah
Sedangkan hikmahnya adalah Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah Swt.








DAFTAR KEPUSTAKAAN
منا هل العرفان في علوم القران الجزِءالثا نى. الشيخ محمدعبد العظيم الزرقاني ،
الإمام جلاالدين الرحمن بن أبي بكر السيوطي،الإتقان في علوم القران
البرها ن في علوم القران ،الامام بدرالدين محمد بن عبدالله الزركسي

مناع القطان مبا حث في علوم القران
Ali Ashaabuuny, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung 1999
Manna’ Khalil al- Qattan. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, lintera Antar Nusa Halim Jaya. 2009.
Tengku Muhammad Hasbi Ash shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, PT. Putra Rizki Putra Semarang, 2002
Wahid, Ramli abdul Ulumul Qur’an edisi revisi, PT.Raja Grafindo Persada Jakarta, 2002.

PRAGMATISME

Bab I
Pendahuluan
Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704).
Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.
Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan diterangkan nanti. Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang, yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya, sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia. 
Bab II
Pembahasan
1. Asal Usul Pragmatisme
Pemikiran Pragmatisme lahir, karena sepanjang hidunya (William James),komplik antara pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Sebab sesungguhnya yang ia inginkan adalah hasil-hasil yang kongkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah diselidiki konsekuesi-konsekuensi yang praktis. Sehingga dia berpendapat bila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide tersebut benar
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi. Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance. Semangat Renaissance ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama, atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643). Juga Francis Bacon (1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik deduktif
Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad Pertengahan. Jadi, Barat tidak mengambil filsafat Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun periode Scholastik (1000 – 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan beragama (Protestan) dan telah memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran; Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun demikian, Gereja Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance, yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai pusat tatasurya.
Pada abad XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke (1632-1704). Rasionalisme memandang bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan (Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727), sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan “immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya (hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang diamati. Pandangan Locke dan Berkeley dikem¬bangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya; yakni tentang skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume, Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan. Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme. Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX, filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte (1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya, aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan, yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey (1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika (baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang merupakan dasar ideologi Komunisme di Rusia. Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri. Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme). Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman (Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatis¬me yang dianggap pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah Charles Pierce dan William James.
2. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Pragmatisme dalam bahas arab disebut “al-mazhab al- amali” atau “mazhab adzari’i adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu . Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkem¬bangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpi¬kir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian.
Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular. Tetapi Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini–yang juga disebut Practicalisme–, sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi.
Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Menurutnya tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu.
Meskipun mereka berbeda pendapat, tetapi ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman. Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia serta yang berguna dalam praktik dan dapat memenuhi kebutuhan manusia.
3. Kritik Terhadap Pragmatisme
a. Kritik dari Segi Landasan Ideologi
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan Pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Aqidah pemisahan agama dari kehidupan adalah landasan ideologi Kapitalisme. Aqidah ini, sebenarnya bukanlah hasil proses berpikir. Bahkan, tak dapat dikatakan sebagai pemikiran yang logis. Aqidah pemisahan agama dari kehidupan tak lain hanyalah penyelesaian yang berkecenderungan ke arah jalan tengah atau bersikap moderat, antara dua pemikiran yang kontradiktif. Kedua pemikiran ini, yang pertama adalah pemikiran yang diserukan oleh tokoh-tokoh gereja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V – XV M), yakni keharusan menundukkan segala sesuatu urusan dalam kehidupan menurut ketentuan agama. Sedangkan yang kedua, adalah pemikiran sebagian pemikir dan filusuf yang mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterika¬tannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.
Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan Al Khaliq tidaklah lebih penting daripada ketiadaan-Nya, maka ini adalah suatu ide yang tidak memuaskan akal dan tidak menenteramkan jiwa.
Jadi, berdasarkan fakta bahwa aqidah Kapitalisme adalah jalan tengah di antara pemikiran-pemikiran kontradiktif yang mustahil diselesaikan dengan jalan tengah, maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengkritik dan membatalkan aqidah ini. Tak ada bedanya apakah aqidah ini dianut oleh orang yang mempercayai keberadaan Al Khaliq atau yang mengingkari keberadaan-Nya.
Tetapi dalam hal ini dalil aqli (dalil yang berlandaskan keputusan akal) yang qath’i (yang bersifat pasti), membuktikan bahwa Al Khaliq itu ada dan Dialah yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dalil tersebut juga membuktikan bahwa Al Khaliq ini telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia dalam kehidupannya, dan bahwasanya Dia akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq tadi.
Kendatipun demikian, di sini bukan tempatnya untuk melakukan pembahasan tentang eksistensi Al Khaliq atau pembahasan mengenai peraturan yang ditetapkan Al Khaliq untuk manusia. Namun yang menjadi fokus pembahasan di sini ialah aqidah Kapitalisme itu sendiri dan penjelasan mengenai kebatilannya. Dan kebatilan Kapitalisme cukup dibuktikan dengan menunjukkan bahwa aqidah Kapitalisme tersebut merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang kontradiktif, dan bahwa aqidah tersebut tidak dibangun atas dasar pembahasan akal. Kritik yang merobohkan aqidah Kapitalisme ini, sesungguhnya sudah cukup untuk merobohkan ideologi Kapitalisme secara keseluruhan. Sebab, seluruh pemikiran cabang yang dibangun di atas landasan yang batil –termasuk dalam hal ini Pragmatisme– pada hakekatnya adalah batil juga.
b. Kritik dari Segi Metode Berpikir
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu kekeliruan. Metode Ilmiah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah/Rasional (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiah. Sebab, Metode Ilmiah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah. Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak. Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiah, atau dengan kata lain Metode Ilmiah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point :
a. Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiah.
b. Bahwa Metode Ilmiah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/materi¬al yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiah. Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
c. Kritik Terhadap Pragmatisme Itu Sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi. Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas.
Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia. Kedua, Pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, Pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, Pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif. Ketiga. Pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide –baik individu, kelompok, dan masyarakat– dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan –menurut Pragmatisme itu sendiri– setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, Pragmatisme berarti telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
4. Kontradiksi Pragmatisme Dengan Islam
Jelas sekali bahwa Pragmatisme–sebagai standar ide dan perbuatan–sangat bertentangan dengan Islam. Sebab Islam memandang bahwa standar perbuatan adalah halal haram, yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Bukan kemanfaatan atau kegunaan riil untuk memenuhi kebutuhan manusia yang dihasilkan oleh sebuah ide, ajaran, teori, atau hipotesis. Allah SWT berfirman :
          •                           •                    
Artinya:
"Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,” (Al Maaidah : 48)
Syaikh An Nabhani menjelaskan ayat ini dalam Muqaddimah Dustur, bahwa ukuran perbuatan adalah apa yang diturunkan oleh Allah, bukan konsekuensi-konsekuesi yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas manusia. Selain itu, Allah SWT telah memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan-Nya, yaitu Syari’at Islam. Allah SWT berfirman :
             •  
Artinya:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti wali (pemimpin/sahabat/sekutu) selainnya…” (Al A’raaf :3)
. Allah SWT juga berfirmaan dalam Surat Al Hasyr : ayat 7.
•                                 •   •    
Artinya:
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah dia…” (Al Hasyr : 7)
Mafhum Mukhalafah ayat ini adalah, janganlah kita mengambil apa saja (pandangan hidup) yang tidak berasal dari Rasul, termasuk ide Pragmatisme. Ide ini tidak berasal dari Muhammad Rasulullah saw, tetapi dari orang-orang kafir yang berasal dari Eropa dan Amerika. Jelas, bahwa Pragmatisme bertentangan dengan Islam. Sebab ukuran perbuatan dalam Islam adalah perintah dan larangan Allah, bukan manfaat riil suatu ide untuk memenuhi kebutuhan manusia.Namun demikian, bukan berarti Islam tidak memperhatikan kemanfaatan. Islam terbukti telah memperhatikan aspek kemanfaatan, seperti misalnya sabda Rasulullah saw yang artinya :
“Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HSR. Muslim). Benar, Islam memang memperhatikan kemanfaatan, tetapi kemanfaatan yang telah dibenarkan oleh syara’, bukan kemanfaatan secara mutlak tanpa distandarisasi lebih dulu oleh syara’. Hal ini karena nash-nash yang berhubungan dengan manfaat tidak dapat dipahami secara terpisah dari nash-nash lain yang menegaskan aspek halal haram. Maka, kemanfaatan yang diperhatikan oleh Islam adalah kemanfaatan yang dibenarkan oleh syara’, bukan sembarang manfaat. Jadi, ketika dinyatakan bahwa standar perbuatan adalah syara’, dan bukan manfaat, maka hal ini tidak berarti bahwa Islam menafikan aspek kemanfaatan. Tetapi maknanya adalah, manfaat itu bukan standar kebenaran untuk ide atau perbuatan manusia.
Bab III
Kesimpulan

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Istilah Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan
Pragmatisme adalah ide batil dan ide kufur yang sangat mungkar, karena ide tersebut dibangun di atas landasan ideologi yang kufur, dihasilkan dengan metode berpikir yang tidak tepat, serta mengandung kerancuan dan kekacauan pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu, karena Pragmatisme adalah suatu kemungkaran, maka seorang muslim wajib menghancurkan dan membuang Pragmatisme dengan sekuat tenaga serta melawan siapa saja yang hendak menyesatkan umat dengan menjajakan ide hina dan berbahaya ini di tengah-tengah umat Islam yang sedang berjalan menuju kepada kebangkitannya.








Daftar Pustaka
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
A .Hanafi, Pengantar Filsafat, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1981
Baktiar, Amsal,Filsafat Ilmu, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Ihsan, Fuad, Filsafat Ilmu, Rineka Cipta, Jakarta 2010
Poedjawijatna, Pembimbing kearah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 2002
Soedojo, Peter, Pengantar Sejarah dan Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,Gadjah Mada University Pres, 2004
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan, PT.Remaja Rosda Karya Bandung,2007