KEMUNDURAN
DINASTI ABBASIYAH SEBAB-SEBAB DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dinasti
Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan
peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
Telah tercatat dalam
sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala
bidang selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah
mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai
dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti Bani
Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan
dinasti Umayyah, yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian
memasuki masa-masa sulit dan akhirnya mundur dan jatuh.
Kemunduran dan
kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi
dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya.
Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah
kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay,
disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke
wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu
Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan
kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Sejak periode pertama,
sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti Abbasiyah.
Beberapa gerakan politik yang meronrong pemerintah dan mengganggu stabilitas
muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun
dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. keberhasilah penguasa Abbasiyah
mengatasi gejolak dalam negeri makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka
sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada ditangan khalifah.
Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama
berlalu, para khalifah sangat lebah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan
yang lain[1].
Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode
pertema telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok.
Setiap khalifak cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah
khalifah-khalifah ini ditiru para hartawan dan anak-anak pejabat.kecenderungan
bermewah-mewah, dtambah kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini member peluang
kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah
Al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga
kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan bani Abbas
didalam khalifah Abbasiyah yang didirakannya mulai pudar dan ini merupakan awal
dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bertahan lebih
dari 400 tahun.
Faktor lain yang menyebabkan
peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-perintahan
Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda
pada pemerintahan sebelumnya.
B.
Faktor-faktor Yang mempengaruhi
a. Faktor Internal
Sebagaimana terlihat
dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu
tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
Disamping kelemahan
khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi
mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain[2]
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah
didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu
pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan
demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian,
orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan
ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah
menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang
memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan.
Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana
dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang
mereka diami.[3]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah.
Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[4]
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh
Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan
gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan
pembayaran upeti.[5]
Ada kemungkinan
penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan
pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik
beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah
terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang
dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir
dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di
antaranya adalah:
a. Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di
Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania
(261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai
Baghdad (320-447).
b. Yang berbangsa
Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H),
Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya.
c. Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406
H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
d. Yang berbangsa Arab:
Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah
di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di
Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah
di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
e. Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di
Spanyol dan Fatimiyah di Mesir[6]
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam
bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa
kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis[7]
Setelah khilafah
memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para
pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang
tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi
ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang
mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[8]
Setelah al Manshur
wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka
serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara
kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang
ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah
pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini
mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut[9]
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti
perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik
daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya[10]
b. Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan
diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran
Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1.
Perang Salib
Kekalahan tentara
Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen
terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang
menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat
menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu
pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk
melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang
berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan
korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara
tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka,
Tripoli dan kota Tyre[11].
2.
Serangan Mongolia ke
Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang-orang Mongolia
adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China.
Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624
H). Sebagai awal penghancuran Bagdad dan
Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah
Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[12] Pada bulan September 1257, Hulagu
mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok
kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban.
Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.[13] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim
langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para
pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi.
Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya.
Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta
orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir
dari Dinasti Abbasiyah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor;
Internal dan Eksternal. Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:
a. Tampilnya
penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah
sistem komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya
daerah satu per satu.
b. Kecenderungan
para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti
oleh para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan
terganggu dan rakyat menjadi miskin.
c. Dualisme
pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de
facto digerakkan oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula
diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan.
d. Praktek
korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di
berbagai propinsi.
e. Perang saudara
antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu,
yaitu kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan
antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
Sedangkan Secara ekternal
disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari
dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari
pasukan Salib di Barat. Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang
berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, Cet.
IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.
Al -Isy, Yusuuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah
Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Al-Usyairy, Ahmad, Attarikh al-Islami, Terj.
Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003.
Amstrong, Karen, Islam A Short History, New York: Moder
Library, 2000, diterjemahkan oleh. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah
Islam, Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Dedi Supriady, Sejarah Peradaban Islam, Cet. X, Penerbit Pustaka Setia; Bandung
2008.
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,
Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj.
R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008.
Yatim, Badari , sejarah peradaban Islam Dirasah
islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000.
Karim, M. Abdul., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
[2] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, (Jakarta:
Raja Grapindo Persada, 2000), h.80
[3] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif
Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 102-104
[7] Badari yatim ,op. cit., h. 65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh
‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297
[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan 618
[9] Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip Badari
yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 82