Rabu, 27 Maret 2013

dinasti abbasiyah



KEMUNDURAN DINASTI ABBASIYAH SEBAB-SEBAB DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang paling berhasil dalam mengembangkan peradaban Islam. Para ahli sejarah tidak meragukan hasil kerja para pakar pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah dalam memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan  dalam segala bidang selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti Bani Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan dinasti Umayyah, yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian memasuki masa-masa sulit dan akhirnya  mundur dan jatuh.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah ini penulis akan membahas  sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta dinamikanya.














BAB II
PEMBAHASAN
A.          Kemunduran  Dinasti Abbasiyah
Sejak periode pertama, sebenarnya banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi Dinasti Abbasiyah. Beberapa gerakan politik yang meronrong pemerintah dan mengganggu stabilitas muncul dimana-mana, baik gerakan dari kalangan intern Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Namun, semuanya dapat diatasi dengan baik. keberhasilah penguasa Abbasiyah mengatasi gejolak dalam negeri makin memantapkan posisi dan kedudukan mereka sebagai pemimpin yang tangguh. Kekuasaan benar-benar berada ditangan khalifah. Keadaan ini sangat berbeda dengan periode sesudahnya. Setelah periode pertama berlalu, para khalifah sangat lebah. Mereka berada di bawah pengaruh kekuasaan yang  lain[1].
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertema telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifak cenderung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru para hartawan dan anak-anak pejabat.kecenderungan bermewah-mewah, dtambah kelemahan khalifah dan faktor lainnya menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah  Al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan bani Abbas didalam khalifah Abbasiyah yang didirakannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih bertahan lebih dari 400 tahun.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-perintahan Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda pada pemerintahan sebelumnya.

B.          Faktor-faktor Yang mempengaruhi
a.      Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.  Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain[2]

1.     Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[3]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[4]
2.     Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.[5]
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
a.  Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
b. Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya.
c.   Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
d. Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
e.  Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir[6]
3.    Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis[7]
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
4.     Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara  Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[8]
Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut[9]
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni. Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya[10]
b.    Faktor Eksternal
Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.
1.        Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung  dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre[11].
2.       Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah

Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).  Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[12] Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.[13] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.
















BAB III
KESIMPULAN

            Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:   
1.      Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor;  Internal dan Eksternal. Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:
a.  Tampilnya penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah sistem komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya daerah satu per satu.
b.  Kecenderungan para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti oleh para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
c.   Dualisme pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de facto digerakkan oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil kendali pemerintahan.
d.   Praktek korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di berbagai propinsi.
e.   Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu, yaitu kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan antara muslim dengan non-muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
Sedangkan Secara ekternal disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari pasukan Salib di Barat. Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.


















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.
Al -Isy, Yusuuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Al-Usyairy, Ahmad, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003.
Amstrong,  Karen, Islam A Short History, New York: Moder Library, 2000, diterjemahkan oleh. Ira puspito Rini, Sepintas Sejarah Islam, Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Dedi Supriady, Sejarah Peradaban Islam, Cet. X, Penerbit Pustaka Setia; Bandung 2008.
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008.
Yatim, Badari , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000.
Karim, M. Abdul., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.



[1] Dedi Supriady, Sejarah Peradaban Islam, Cet. X, Penerbit Pustaka Setia; Bandung 2008, h. 76
[2] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000), h.80
[3] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 102-104
[4] Badari yatim , op.cit., h. 50
[5] Ibid., h.63
[6] Yusuuf al-Isy, op. cit., h. 137
[7] Badari yatim ,op. cit., h. 65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, hlm. 261- 297
[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan 618
[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 82
[10] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224
[11] Badari yatim, op.cit., h. 83
[12] Ibid. h. 84
[13] Philip K. Hitti, op. cit., h. 619