Rabu, 27 Maret 2013



PENDAHULUAN
Berbicara masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup untuk membahasnya. Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian Islam berikut pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan melahirkan peradaban baru bagi umat Islam. Dalam kajian ini penulis akan membahas tentang tokoh yang monumental diabad kedua puluh, yaitu Muhammad Iqbal (selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual dan cendikiawan muda yang haus akan ilmu pengetahuan. Mohammad Natsir didalam bukunya Kapita Selekta mengungkapkan bahwa Iqbal telah membangkitkan semangat rakyat dengan memompa kepercayaan diri (‘Izzatunnafs)[1]






BAB II
PEMBAHASAN
A.           Sejarah Hidup Muhammad Iqbal
1.             Biografi Singkat
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa'dah 1294[2] dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga miskin, tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah) Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold.  Iqbal lulus  pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua medali emas karena baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia mendapatkan gelar M.A dalam bidang filsafat.[3]  Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya[4]. Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara. Adapun karya-karya Iqbal diantaranya adalah:  Bang-i-dara (Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?), Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz), Devlopment of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru), Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).[5]
Sebagai seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan. Keduanya adalah sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India[6].
2.              Pemikiran Muhammad Iqbal
Menurut Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental yaitu intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal sangat berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam. Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa literature-literatur yang beredar luas, justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.[7] Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan tentang Islam.
a.             Hakekat Teologi
Secara umum iqbal melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi ke imanan, mendasarkan pada esensi Tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan, kesetiakawanan dan kebebas merdekaan” pandangan tentang ontologi teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam kalsik.
b.             Pembuktian Tentang Tuhan
      Dalam membukitikan eksitensi tuhan, iqbal menolak argumen kosmologi maupun ontologis dan ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan eksitensi tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian ia menerima landasan teologis yang imanen (tetap ada). Untuk menompang hal itu, iqbal menolak pandangan yang statis tentang Matter serta menerima pandangan Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak berhenti. Karakter nyata konsep tersebut di temukan iqbal dalam jangka waktu murni nya bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu murni, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian) kesatuannya seperti kuman yang didalamnya terdapat pengalaman- pengalaman nenek monyang individu, bukan sebagai kumpulan, tetapi sebagai sesuatu kesatuan yang di didalam nya mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya. Dan dari individu “jangka waktu murni” ini kemudian di transfer ke alam semesta dan membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang di bicarakan iqbal ke dalam al-qur’an. Jadi, iqbal telah menafsirkan tuhan yang imanen bagi alam.
c.               Jati Diri Manusia
      Faham dinamisme iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran terhadap pendapat nya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsep Ego, Ide Sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu di artikan dengan kepribadian. Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang di lakukan oleh para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan Allah.  Pada hakikatnya menafikkan diri bukan lah ajaran Islam karena hakikat hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampak nya merupakan reaksi terhadap kondisi ummat Islam yang ketika itu telah di bawa oleh kaum sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya. Dengan ajaran khudi nya, ia mengemukakan pandangan yang di namis tentang kehidupan dunia.
d.             Dosa
Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini ia mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang, kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang di kuasai hawa nafsu naluriyah kepada pemilikan kepribadian bebas yang di perolehnya secara sadar, sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecendrungan untuk membangkang dan timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih” Allah telah menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan nya yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun pengakuan terhadap kemandirian (Manusia)itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidak sempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian itu.[8]
e.              Surga dan Neraka
       Surga dan Neraka, kata iqbal adalah keadaan, bukan tempat.gambaran tentang keduanya dalam al-qur’an adalah penampilan – penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka menurut rumusan Al-Qur’an adalah Api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke atas hati. Pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusai. Surga adalah kegembiraan karena mendapat kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam.Neraka, sebagai mana di jelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang di sediakan tuhan. Ia adalah pengalaman kolektif yang mendapat memperkeras ego sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan Allah. Surga juga bukan tempat berlibur. Kehidupan ini hanya satu dan berkesinambungan.[9]
f.               Pemikiran Politik
Sepulangnya dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan bahkan menjadi tulang punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legistalif Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’ oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal[10] di bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari kerajaan inggris atas kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening position politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day. Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen Liga Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah dari Iqbal), bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris.[11] Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salat satu republik itu.[12]
Sebagai seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme, materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat melepaskan diri dari belenggu imperialis. Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi yang dilakukan umat Islam kepada Barat  baik secara personal maupun social dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan menghancurkan peradaban Islam. Diantaran paham Iqbal yang mampu mambangunkan kaum muslimin dari tidurnya adalah “dinamisme Islam” yaitu dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal menyeeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-lah orang kafir yang aktif kreatif "lebih baik" dari pada muslim yang "suka tidur". Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu; gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan (ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di lingkungan yang bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme.[13]  
M. Natsir menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya: Didalam agama Islam spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang disebut orang “gereja” kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai “negara” kalau dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu.
Demikian tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam Islam; politik dan agama tidaklah dapat dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat dirasakan kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang pada akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.

b.      Pemikirannya Tentang Landasan Islam
1.             Pemikiran Tentang Al-Qur’an
 Sebagai seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise  deed rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah undang-undang. Dia berpendapat  bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak memuatnya secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif.
Oleh karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[14]  Iqbal juga mengeluh tentang ketidak mampuan masyarakat India dalam memahami Al-Qur’an disebabkan tidak memahami bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (hindu) dan Yunani ke dalam Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan legalita kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara, undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut menurut Iqbal Al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan tersebut, tanpa mebeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.[15]
Satu segi mengenai al-Qur'an yang patut dicatat adalah bahwa ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa diamati. Tujuan al-Qur'an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah symbol.[16] Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs. 30:22)
2.              Pendapat tentang Al-Hadits
Iqbal memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan al-Qur’an. Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan  sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah  lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan, karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang tujuan-tujuan universal hadits dari pada koleksi belaka.[17]
3.             Pandangannya Tentang Ijtihad
 Menurut Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits maupun Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif. Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul. Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana mayoritas ulama, Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu[18]:
a.      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri mazhab-mazhab saja.
b.      Otoritas relative yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
c.       Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
 Iqbal menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-sunnah tetapi dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-mazhab. Ide ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkun dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu system hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya ketentuan ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami stagnasi dan tidak mampu berkembang[19]. Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja. Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun statis tidak berkembang selama beberapa abad.


BAB III
KESIMPULAN
Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan telah melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya . Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir mengatakan “tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui". Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? Dengan tepat Iqbal menjawab “bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir Umar bin Khattab”.[20]




DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti A, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III
Asad, Muhammad, Asas-asas Negara dan Pemerintahan dalam Islam (terj. Muhammad Radjab), Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H
Azra, Azyumardi dan Syafii Maarif, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr sampai Natsir dan Qardhawi. Bandung, Mizan, tahun 2003
Glase, Cyril, Ensiklopedi Islam,Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet.3 tahun 2002
Hilmi, Musthafa Muhammad, Manhaj 'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin, Kairo, Daar Ibn Jauzi, Cet. 1, th. 2005
http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur pada tanggal 5 November 2012
H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Rajawali press, Jakarta, 1995
Iqbal, Muhammad. Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th. 1968
Iqbal, Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta, Penerbit Lazuardi, cet. 1, tahun 2002.
Mohammad, Herry (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta, Gema Insani, cet.1, th. 2006
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hal 185
Natsir, Mohammad Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008
Saefuddin, Didin. Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2000

Sani, Abdul, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998



[1] M. Natsir, Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008, h. 138-139
[2] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta, Gema Insani, cet.1, th. 2006, h.237
[3] H.A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998, Cet. III h.174. Lihat juga: Azzumardi Azra dan Syafi’i Ma’arif dalam Ensiklopedi Tokoh Islam, hal 256. Lihat juga: Musthafa Muhammad Hilmi, Manhaj 'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin, Kairo, Daar Ibn Jauzi, Cet. 1, th. 2005 h. 334. Lihat juga: Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, tahun 1977, h. 473
[4] Herry Mohammad (dkk), Op.Cit, h.237
[5] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. 1, th. 2004, hal. 128
[6] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2003, h. 51
[7] Didin Saefuddin, Ibid, h. 51
[8] H.A.R. gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Rajawali press, Jakarta, 1995, hlm. 131-132
[9] Ibid, h. 133-134
[10] Gunadi & Shoelhi, Op,Cit,h. 163
[11] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998, h. 168-170
[12] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th.  2003, cet. XIV, hl 186
[13] Natsir, Op.Cit, h. 147
[14] Harun, Nasution, h. 185
[15] http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur pada tanggal 5 November 2012
[16] Muhammad Iqbal, Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th. 1968, h. 20-21
[17] http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur pada tanggal 5 November 2012
[18] http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur pada tanggal 5 November 2012
[19] Iqbal, Op.Cit, h. 171
[20] Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta, Penerbit Lazuardi, cet. 1, th. 2002, h. 280-281

Tidak ada komentar:

Posting Komentar