PENDAHULUAN
Berbicara
masalah Islam dan pemikiran tokoh-tokohnya, seberapapun lamanya tidaklah cukup
untuk membahasnya. Mengingat begitu banyak sekali kajian-kajian Islam berikut
pemikiran-pemikiran para tokohnya yang telah berhasil mengukir sejarah dan
melahirkan peradaban baru bagi umat Islam. Dalam kajian ini penulis akan
membahas tentang tokoh yang monumental diabad kedua puluh, yaitu Muhammad Iqbal
(selanjutnya ditulis; Iqbal). Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi
dan dapat diambil ibrah bagi kalangan intelektual dan cendikiawan muda
yang haus akan ilmu pengetahuan. Mohammad Natsir didalam bukunya Kapita Selekta
mengungkapkan bahwa Iqbal telah membangkitkan semangat rakyat dengan memompa
kepercayaan diri (‘Izzatunnafs)[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Hidup Muhammad Iqbal
1.
Biografi Singkat
Iqbal
dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab
Barat dan Kashmir) pada tanggal 9 November 1877/ 2 Dzulqa'dah 1294[2]
dan wafat pada tanggal 21 April 1938. Ia terlahir dari keluarga miskin, tetapi
berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya dari sekolah menengah dan perguruan
tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya
selesai di Sialkot ia masuk Government College (sekolah tinggi pemerintah)
Lahore. Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold. Iqbal
lulus pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua medali emas
karena baiknya bahasa inggris dan arab, dan pada tahun 1909 ia mendapatkan
gelar M.A dalam bidang filsafat.[3]
Ia lahir dari kalangan keluarga yang
taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya telah mendapatkan bimbingan
langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya[4].
Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot untuk
kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore, di Cambridge-Inggris dan
terakhir di Munich-Jerman dengan mengajukan tesis dengan judul The
Development Of Metaphysics in Persia. Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia
diangkat menjadi Guru Besar di Lahore dan sempat menjadi pengacara. Adapun
karya-karya Iqbal diantaranya adalah: Bang-i-dara
(Genta Lonceng), Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia
Diri), Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri), Jawaid Nama (Kitab
Keabadian), Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa), Pas Cheh Bayad
Kard Aye Aqwam-i-Sharq (Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?),
Musafir Nama, Bal-i-Jibril (Sayap Jibril), Armughan-i-Hejaz (Hadiah
Dari Hijaz), Devlopment of Metaphyiscs in Persia, Lectures on the
Reconstruction of Religius Thought in Islam Ilm al Iqtishad, , A Contibution to
the History of Muslim Philosopy, Zabur-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru),
Khusal Khan Khattak, dan Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia Peniadaan Diri).[5]
Sebagai
seorang pemikir, tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa
gagasan-gagasannya tersebut tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya.
Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. Pada masa ini pemikiran kaum
muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi oleh seorang tokoh religius
yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi dan Sayyid Ahmad Khan. Keduanya adalah sebagai
para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa kaum muslimin tengah
menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan
serius dari Inggris. Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini
mengalami kekalahan saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat
mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris dan bahkan pada tahun 1858 British
East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas
pemerintah imperium India[6].
2.
Pemikiran Muhammad Iqbal
Menurut Syed
Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal yang ditulis oleh
Ishrat Hasan Enver, Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental yaitu
intuisi, diri, dunia dan Tuhan. Baginya Iqbal sangat berpengaruh di India
bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini tidak akan dapat dicapai tanpa
mengkaji ide-idenya secara mendalam. Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara
konkrit, yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti berupa
literature-literatur yang beredar luas, justru dia adalah sebagai negarawan,
filosof dan sastrawan. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang
gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. Dan jika dikaji,
pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah
yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan
dunia timur ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun sebagai
agamawan. Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.[7]
Dengan latar belakang itu pula maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan
gagasan-gagasan Iqbal dalam dua hal yaitu: pemikirannya tentang politik dan
tentang Islam.
a.
Hakekat Teologi
Secara
umum iqbal melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi ke imanan, mendasarkan
pada esensi Tauhid. Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “persamaan,
kesetiakawanan dan kebebas merdekaan” pandangan tentang ontologi teologi
membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur
ilmu kalam kalsik.
b.
Pembuktian Tentang Tuhan
Dalam membukitikan eksitensi tuhan, iqbal menolak argumen kosmologi maupun
ontologis dan ia juga menolak argumen teleologis yang berusaha membuktikan
eksitensi tuhan yang mengatur ciptaannya dari sebelah luar. Walaupun demikian
ia menerima landasan teologis yang imanen (tetap ada). Untuk menompang hal itu,
iqbal menolak pandangan yang statis tentang Matter serta menerima pandangan
Whitehead tentangnya sebagai struktur kejadian dalam aliran dinamis yang tak
berhenti. Karakter nyata konsep tersebut di temukan iqbal dalam jangka waktu
murni nya bergson, yang tidak terjangkau oleh serial waktu. Dalam jangka waktu
murni, ada perubahan, tetapi tidak ada suksesi (penggantian) kesatuannya
seperti kuman yang didalamnya terdapat pengalaman- pengalaman nenek monyang
individu, bukan sebagai kumpulan, tetapi sebagai sesuatu kesatuan yang di
didalam nya mendorong setiap pengalaman untuk menyerap keseluruhannya. Dan dari
individu “jangka waktu murni” ini kemudian di transfer ke alam semesta dan
membenarkan ego mutlak. Gagasan inilah yang di bicarakan iqbal ke dalam
al-qur’an. Jadi, iqbal telah menafsirkan tuhan yang imanen bagi alam.
c.
Jati Diri Manusia
Faham dinamisme iqbal berpengaruh besar terhadap jati diri manusia. Penelusuran
terhadap pendapat nya tentang persoalan ini dapat di lihat dari konsep Ego, Ide
Sentral dalam pemikiran filosofisnya. Kata itu di artikan dengan kepribadian.
Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan
mengembangkan bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti
yang di lakukan oleh para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan Allah.
Pada hakikatnya menafikkan diri bukan lah ajaran Islam karena hakikat
hidup adalah bergerak, dan gerak adalah perubahan. Filsafat khudinya tampak nya
merupakan reaksi terhadap kondisi ummat Islam yang ketika itu telah di bawa
oleh kaum sufi semakin jauh dari tujuan dan maksud islam yang sebenarnya.
Dengan ajaran khudi nya, ia mengemukakan pandangan yang di namis tentang
kehidupan dunia.
d.
Dosa
Iqbal
secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan tentang
kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hubungan ini ia
mengembangkan cerita tentang kejatuhan Adam sebagai kisah yang berisi pelajaran
tentang, kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang di kuasai hawa nafsu
naluriyah kepada pemilikan kepribadian bebas yang di perolehnya secara sadar,
sehingga mampu mengatasi kebimbangan dan kecendrungan untuk membangkang dan
timbulnya ego terbatas yang memiliki kemampuan untuk memilih” Allah telah
menyerahkan tanggung jawab yang penuh resiko ini, menunjukkan kepercayaan nya
yang besar kepada manusia. Maka kewajiban manusia adalah membenarkan adanya
kepercayaan ini. Namun pengakuan terhadap kemandirian (Manusia)itu melibatkan
pengakuan terhadap semua ketidak sempurnaan yang timbul dari keterbatasan kemandirian
itu.[8]
e.
Surga dan Neraka
Surga dan Neraka, kata iqbal adalah keadaan,
bukan tempat.gambaran tentang keduanya dalam al-qur’an adalah penampilan –
penampilan kenyataan batin secara visual, yaitu sifatnya. Neraka menurut
rumusan Al-Qur’an adalah Api Allah yang menyala-nyala dan yang membumbung ke
atas hati. Pernyataan yang menyakitkan mengenai kegagalan manusai. Surga adalah
kegembiraan karena mendapat kemenangan dalam mengatasi berbagai dorongan yang
menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi dalam Islam.Neraka, sebagai
mana di jelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat penyiksaan abadi yang
di sediakan tuhan. Ia adalah pengalaman kolektif yang mendapat memperkeras ego
sekali lagi agar lebih sensitif terhadap tiupan angin sejuk dari kemahamurahan
Allah. Surga juga bukan tempat berlibur. Kehidupan ini hanya satu dan
berkesinambungan.[9]
f.
Pemikiran Politik
Sepulangnya
dari Eropa, Iqbal kemudian terjun kedunia politik dan bahkan menjadi tulang
punggung Partai Liga Muslim India. Ia terpilih menjadi anggota legistalif
Punjab dan pada tahun 1930 terpilih sebagai Presiden Liga Muslim. Karir Iqbal
semakin bersinar dan namanya pun semakin harum ketika dirinya diberi gelar ‘Sir’
oleh pemerintah kerajaan Inggris di London atas usulan seorang wartawan Inggris
yang aktif mengamati sepak terjang Iqbal[10]
di bidang intelektual dan politiknya. Gelar ini menunjukan pengakuan dari
kerajaan inggris atas kemampuan intelektualitas dan memperkuat bargening
position politik perjuangan umat Islam India pada saat itu. Ia juga
dinobatkan sebagai Bapak Pakistan yang pada setiap tahunnya dirayakan oleh
rakyat Pakistan dengan sebutan Iqbal Day. Pemikiran dan aktivitas Iqbal untuk
mewujudkan Negara Islam ia tunjukkan sejak terpilih menjadi Presidaen Liga
Muslimin tahun 1930. Ia memandang bahwa tidaklah mungkin umat Islam dapat
bersatu dengan penuh persaudaraan dengan warga India yang memiliki keyakinan
berbeda. Oleh karenanya ia berfikir bahwa kaum muslimin harus membentuk Negara
sendiri. Ide ini ia lontarkan keberbagai pihak melalui Liga Muslim dan
mendapatkan dukungan kuat dari seorang politikus muslim yang sangat berpengaruh
yaitu Muhammad Ali Jinnah (yang mengakui bahwa gagasan Negara Pakistan adalah
dari Iqbal), bahkan didukung pula oleh mayoritas Hindu yang saat itu sedang
dalam posisi terdesak saat menghadapi front melawan Inggris.[11]
Bagi Iqbal dunia Islam seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas
republik-republik, dan Pakistan yang akan dibentuk menurutnya adalah salat satu
republik itu.[12]
Sebagai
seorang negarawan yang matang tentu pandangan-pandangannya terhadap ancaman
luar juga sangat tajam. Bagi Iqbal, budaya Barat adalah budaya imperialisme,
materialisme, anti spiritual dan jauh dari norma insani. Karenanya ia sangat
menentang pengaruh buruk budaya Barat. Dia yakin bahwa faktor terpenting bagi
reformasi dalam diri manusia adalah jati dirinya. Dengan pemahaman seperti itu
yang ia landasi diatas ajaran Islam maka ia berjuang menumbuhkan rasa percaya
diri terhadap umat Islam dan identitas keislamannya. Umat Islam tidak boleh
merasa rendah diri menghadapi budaya Barat. Dengan cara itu kaum muslimin dapat
melepaskan diri dari belenggu imperialis. Muhammad Asad mengingatkan bahwa imitasi
yang dilakukan umat Islam kepada Barat baik secara personal maupun social
dikarenakan hilangnya kepercayaan diri, maka pasti akan menghambat dan
menghancurkan peradaban Islam. Diantaran paham Iqbal yang mampu mambangunkan
kaum muslimin dari tidurnya adalah “dinamisme Islam” yaitu
dorongannya terhadap umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam.
Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah menciptakan, maka Iqbal
menyeeru kepada umat Islam agar bangun dan menciptakan dunia baru. Begitu
tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa seolah-lah orang kafir
yang aktif kreatif "lebih baik" dari pada muslim yang "suka
tidur". Iqbal juga memiliki pandangan politik yang khas yaitu;
gigih menentang nasionalisme yang mengedepankan sentiment etnis dan kesukuan
(ras). Bagi dia, kepribadian manusia akan tumbuh dewasa dan matang di
lingkungan yang bebas dan jauh dari sentiment nasionalisme.[13]
M. Natsir
menyebutkan bahwa dalam ceramahnya yang berjudul Structure of Islam, Iqbal
menunjukkan asas-asas suatu negara dengan ungkapannya: Didalam agama Islam
spiritual dan temporal, baka dan fana, bukanlah dua daerah yang terpisah, dan
fitrat suatu perbuatan betapapun bersifat duniawi dalam kesannya ditentukan
oleh sikap jiwa dari pelakunya. Akhir-akhirnya latar belakang ruhani yang tak
kentara dari sesuatu perbuatan itulah yang menentukan watak dan sifat amal
perbuatan itu. Suatu amal perbuatan ialah temporal (fana), atau duniawi, jika
amal itu dilakukan dengan sikap yang terlepas dari kompleks kehidupan yang tak
terbatas. Dalam agama islam yang demikian itu adalah adalah seperti yang
disebut orang “gereja” kalau dilihat dari satu sisi dan sebagai “negara” kalau
dilihat dari sisi yang lain. Itulah maka tidak benar kalau gereja dan negara
disebut sebagai dua faset atau dua belahan dari barang yang satu. Agama Islam
adalah suatu realitet yang tak dapat dipecah-pecahkan seperti itu.
Demikian
tegas Iqbal berpandangan bahwa dalam Islam; politik dan agama tidaklah dapat
dipisahkan, bahwa negara dan agama adalah dua keseluruhan yang tidak terpisah. Dengan
gerakan membangkitkan Khudi (pribadi; kepercayaan diri) inilah Iqbal
dapat mendobrak semangat rakyatnya untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami
dewasa ini. Ia kembalikan semangat sebagaimana yang dulu dapat dirasakan
kejayaannya oleh ummat Islam. Ujung dari konsep kedirian inilah yang pada
akhirnya membawa Pakistan merdeka dan ia disebut sebagai Bapak Pakistan.
b. Pemikirannya Tentang Landasan Islam
1.
Pemikiran Tentang Al-Qur’an
Sebagai
seorang yang terdidik dalam keluarga yang kuat memegang prinsip Islam, Iqbal
meyakini bahwa Al-Qur’an adalah benar firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum
utama dengan pernyataannya “The Qur’an Is a book which emphazhise deed
rather than idea (Al-Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal
daripada cita-cita). Namun dia berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah
undang-undang. Dia berpendapat bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat
berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan utama al-Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi
dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Al-Qur’an tidak memuatnya
secara detail maka manusialah yang ditutntut untuk mengembangkannya. Dalam
istilah fiqih hal ini disebut ijtihad. Ijtihad dalam pandangan Iqbal sebagai
prinsif gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Al-Qur’an memandang bahwa
kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif.
Oleh
karenanya, walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk memperimbangkan karya besar
ulama terdahulu, namun masyarakat harus berani mencari rumusan baru secara
kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Akibat
pemahaman yang kaku terhadap ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak
maju, hukum tetap berjalan di tempatnya.[14]
Iqbal juga mengeluh tentang ketidak
mampuan masyarakat India dalam memahami Al-Qur’an disebabkan tidak memahami
bahasa arab dan telah salah mengimpor ide-ide India (hindu) dan Yunani ke dalam
Islam dan Al-Qur’an. Iqbal begitu terobsesi untuk menyadarkan umat Islam untuk
lebih progresif dan dinamis dari keadaaan statis dan stagnan dalam menjalani
kehidupan duniawi. Karena berdasarkan pengalaman, agama Yahudi dan Kristen
telah gagal menuntun umat manusia menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi
disebabkan terlalu mementingkan legalita kehidupan duniawi. Sedangkan kegagalan
Kristen adalah dalam memberikan nilai-nilai kepada pemeliharaan Negara,
undang-undang dan organisasi disebabkan terlalu mementingkan segi ibadah
ritual. Dalam kegagalan kedua agama tersebut menurut Iqbal Al-Qur’an berada
ditengah-tengah dan sama-sama mengajarkan keseimbangan kedua kehidupan
tersebut, tanpa mebeda-bedakannya. Baginya antara politik pemerintahan dan
agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam
merumuskan ide berdirinya Negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang
mayoritas Hindu.[15]
Satu segi mengenai al-Qur'an yang
patut dicatat adalah bahwa ia sangat menekankan pada aspek Hakikat yang bisa
diamati. Tujuan al-Qur'an dalam pengamatan reflektif atas alam ini adalah untuk
membangkitkan kesadaran pada manusia tentang alam yang dipandang sebagai sebuah
symbol.[16]
Iqbal menyatakan hal ini seraya menyitir beberapa ayat, diantaranya: "Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui". (Qs.
30:22)
2.
Pendapat tentang Al-Hadits
Iqbal
memandang bahwa umat Islam perlu melakukan studi mendalam terhadap literatur
hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang
mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyunya. Hal ini sangat besar faedahnya
dalam memahami nilai-nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana
yang dikemukakan al-Qur’an. Iqbal sepakat dengan pendapat Syah Waliyullah
tentang hadits, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan dakwah Islam dengan
memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu.
Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk
setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar
kehidupan social bagi seluruh umat manusia, tanpa terkait oleh ruang dan waktu.
Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk
generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan, dari
pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu Hanifah lebih banyak
mempergunakan konsep istihsan dari pada hadits yang masih meragukan
kualitasnya. Ini bukan berarti hadits-hadits pada zamannya belum dikumpulkan,
karena Abu Malik dan Az-Zuhri telah membuat koleksi hadits tiga puluh tahun
sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia memandang
tujuan-tujuan universal hadits dari pada koleksi belaka.[17]
3.
Pandangannya Tentang Ijtihad
Menurut
Iqbal ijtihad adalah “Exert with view to form an independent judgment on
legal question” (bersungguh-sungguh dalam membentuk suatu keputusan yang
bebas untuk menjawab permasalahan hukum). Kalau dipandang baik hadits maupun
Al-Qur’an memang ada rekomendasi tentang ijtihad tersebut. Disamping ijtihad
pribadi hukum Islam juga memberi rekomendasi keberlakuan ijtihad kolektif.
Ijtihad inilah yang selama berabad-abad dikembangkan dan dimodifikasi oleh ahli
hukum Islam dalam mengantisipasi setiap permasalahan masyarakat yang muncul.
Sehingga melahirkan aneka ragam pendapat (mazhab). Sebagaimana mayoritas ulama,
Iqbal membagi ijtihad kedalam tiga tingkatan yaitu[18]:
a.
Otoritas penuh dalam menentukan
perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
mazhab-mazhab saja.
b.
Otoritas relative yang hanya
dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab
c.
Otoritas khusus yang berhubungan
dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu, dengan tidak terkait pada
ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
Iqbal
menggaris bawahi pada derajat yang pertama saja. Menurut Iqbal, kemungkinan
derajat ijtihad ini memang disepakati diterima oleh ulama ahl-al-sunnah tetapi
dalam kenyataannya dipungkiri sendiri sejak berdirinya mazhab-mazhab. Ide
ijtihad ini dipagar dengan persyaratan ketat yang hampir tidak mungkun
dipenuhi. Sikap ini, lanjut Iqbal, adalah sangat ganjil dalam suatu system
hukum Al-Qur’an yang sangat menghargai pandangan dinamis. Akibatnya ketentuan
ketatnya ijtihad ini, menjadikan hukum Islam selama lima ratus tahun mengalami
stagnasi dan tidak mampu berkembang[19].
Ijtihad yang menjadi konsep dinamis hukum Islam hanya tinggal sebuah
teori-teori mati yang tidak berfungsi dan menjadi kajian-kajian masa lalu saja.
Demikian juga ijma hanya menjadi mimpi untuk mengumpulkan ulama, apalagi dalam
konsepnya satu saja ulama yang tidak setuju maka batallah keberlakuan ijma
tersebut, hal ini dikarenakan kondisi semakin meluasnya daerah Islam. Akhirnya
kedua konsep ini hanya tinggal teori saja, konsekwensinya, hukum Islam pun
statis tidak berkembang selama beberapa abad.
BAB III
KESIMPULAN
Iqbal adalah
seorang intelektualis asal Pakistan telah melahirkan pemikiran dan peradaban
besar bagi generasi setelahnya . Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin.
Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan
kritikus seni. Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, pak Natsir
mengatakan “tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek
kepribadian Iqbal. Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga
jarang ditemui". Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur
kehidupan manusia, ditantang untuk bisa mengantisipasi dan mengarahkan gerak
perubahan tersebut agar sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hukum Islam
dihadapkan kepada masalah signifikan, yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban
yang cermat dan akurat dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? Dengan tepat
Iqbal menjawab “bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara
berfikir Umar bin Khattab”.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti
A, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan 1998,
Cet. III
Asad,
Muhammad, Asas-asas Negara dan Pemerintahan dalam Islam (terj. Muhammad
Radjab), Jakarta, Granada, cet. 1, th. 1427 H
Azra,
Azyumardi dan Syafii Maarif, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr sampai
Natsir dan Qardhawi. Bandung, Mizan, tahun 2003
Glase,
Cyril, Ensiklopedi Islam,Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, cet.3 tahun
2002
Hilmi,
Musthafa Muhammad, Manhaj 'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin,
Kairo, Daar Ibn Jauzi, Cet. 1, th. 2005
http://tghrib.ir/melayu/?pgid=69&scid=156&dcid=38329, disadur
pada tanggal 5 November 2012
H.A.R. gibb,
Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Rajawali press,
Jakarta, 1995
Iqbal,
Muhammad. Tajdiid At-Tafkiir Ad-Diinii Fii al-Islam, Kairo, cet. 2, th.
1968
Iqbal,
Muhammad. Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta, Penerbit
Lazuardi, cet. 1, tahun 2002.
Mohammad,
Herry (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta, Gema
Insani, cet.1, th. 2006
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, th. 2003, cet.
XIV, hal 185
Natsir,
Mohammad Kapita Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta,
cet. 2 , th. 2008
Saefuddin,
Didin. Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, th. 2000
Sani, Abdul,
Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998
[1] M. Natsir, Kapita
Selekta 2, Jakarta, PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, cet. 2 , th. 2008,
h. 138-139
[2] Herry
Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,Jakarta, Gema
Insani, cet.1, th. 2006, h.237
[3] H.A Mukti
Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung, Mizan
1998, Cet. III h.174. Lihat juga: Azzumardi Azra dan Syafi’i Ma’arif dalam
Ensiklopedi Tokoh Islam, hal 256. Lihat juga: Musthafa Muhammad Hilmi, Manhaj
'Ulama' al-Hadits wa as-Sunnah Fii Ushuul ad-Diin, Kairo, Daar Ibn Jauzi,
Cet. 1, th. 2005 h. 334. Lihat juga: Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan
Kanisius, tahun 1977, h. 473
[8] H.A.R. gibb,
Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein, Rajawali press,
Jakarta, 1995, hlm. 131-132
[11] Abdul Sani, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, cet. 1, th. 1998, h. 168-170
[20] Muhammad
Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama Dalam Islam, Jogjakarta, Penerbit
Lazuardi, cet. 1, th. 2002, h. 280-281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar