Jumat, 01 April 2011

epistemologi pendidikan

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara tentang pendidikan Islam lazimnya memunculkan gambaran yang memilukan dalam pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan arah tujuan yang tidak jelas. Hal ini muncul manakala pendidikan Islam dihadapkan dengan modernisasi dan globalisasi yang ditandai dengan kemajuan sains Barat, di samping ketika dikaitkan dengan kenangan masa kejayaan Islam dimasa lalu. Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15. Setelah itu, masa keemasan itu mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini.
Sebagai agen peradaban dan perubahan sosial, pendidikan Islam berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Keberadaannya diharapkan mampu memberikan kontribusi dan perubahan positif yang berarti bagi perbaikan dan kemajuan peradaban umat islam, baik pada dataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses transformasi nilai-nilai moral untuk membentengi diri dari akses negatif globalisasi dan modernisasi Dengan asumsi inilah dicoba untuk diungkapkan berbagai permasalahan dalam pendidikan Islam, epistemologi pendidikan Islam dan dari sinilah, kemudian dicarikan alternatif baru -reformasi- pemikiran epistemologis yang tentunya lebih realistis, inovatif, tegas dan dinamis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epistemologi
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Epitemologi
Sebagai sub system filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “Misteri”pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Dari beberapa literatur dapat disebutkan bahwa Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan. D.W. Hamlyn Mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pengandai-pengandaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
P. Hardono Hadi menyatakan , bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandai-andaian dan dasarnya, serta pertanggung jawabannya atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas, diungkapkan oleh Azyumardi Azra bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Bertolak dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat dari pada ilmu itu sendiri atau keaslian dari ilmu itu sendiri (validitas ilmu pengetahuan).
Adapun yang menjadi ruang lingkup epistemologi, sebagaimana di jelaskan oleh Mudhlor Achmad, menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam- macam, tumpuan, batas dan sasaran pengetahuan. Sedangkan A.M. Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab; apakah ilmu itu, darimana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, dan sampai dimanakah batasanya. Dari semua pertanyaan di atas dapat disimpulkan pada dua masalah yakni masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu. jadi dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ruang lingkup epistemologi adalalah, meliputi hakikat, sumber, dan validitas pengetahuan.
2. Objek dan Tujuan Epistemologi
Objek epistemologi menurut Jujun S. Suriasumantri berupa “Segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan”. Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang menjadi sasaran atau objek teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi menghantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap pengantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran , mustahil tujuan bisa terealisasi, sebaliknya tanpa tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah.
Selanjutnya, apa yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “Tujuan epistemologi bukanlah hal utama menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.” Hal ini menunjukkan bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan -kendatipun tidak bisa dihindari- akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetahuan. Rumusan ini menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai dia puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. Keadaan pertama hanya berorientasi pada hasil, sedangkan keadaan kedua lebih berorientasi pada proses. Seseorang yang mengetahui prosesnya, tentu akan dapat mengetahui hasilnya, tetapi seseorang yang mengetahui hasilnya acapkali tidak mengetahui prosesnya. Maka guru yang profesional akan menerangkan proses tersebut secara rinci dan mendetail, sehingga siswa benar-benar mampu memahaminya dan mampu mengembangkan perkalian angka-angka lain. Dengan demikian, seseorang tidak sekedar mengetahui sesuatu atas informasi orang lain, tetapi benar-benar tahu berdasarkan pembuktian kontektual melalui proses itu.
3. Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, sebab ia merupakan tempat berpijak. Bangunan pengetahuan menjadi mapan, jika memiliki landasan yang kokoh. Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam meyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Dengan demikian, metode ilmiah merupakan penentu layak-tidaknya pengetahuan menjadi ilmu, sehingga memiliki fungsi yang sangat penting dalam bangunan ilmu pengetahuan.
Dari pengertian, ruang lingkup, objek, dan landasan epistemologi ini, dapat kita disimpulkan bahwa epistemologi merupakan salah satu komponen filsafat yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya berkenaan dengan cara, proses, dan prsedur bagaimana ilmu itu diperoleh.
4. Hakikat Epistemologi
Sebagaimana yang telah di kemukan di atas bahwa epistemologi adalah salah satu sub system dari system filsafat (ontologi, epistemologi dan aksiologi), sehingga epistemologi tidak terlepas dari filsafat. Dengan pengertian lain epistemologi adalah bagian dari filsafat, namun, keberadaan epistemologi dalam filsafat ini masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para ahlinya.
Epistemologi berusaha memberi defenisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya. Oleh karena itu epistemologi seperti yang di ungkapkan oleh kelompok Wina, adalah epistemologi bukanlah lapangan filsafat, melainkan masuk dalam kajian psikologi, dengan alasan epistemologi berkenaan dengan pemikiran manusia. Selain itu para ahli mengatakan bahwa epistemologi hakikatnya adalah menentukan cara dan arah berfikir manusia. Oleh karena itu dapat dipahami dari keterangan di atas bahwa hakikat dari epistemologi adalah bagaimana cara mendapatkan pengetahuan atau kebenaran dengan mengunakan metode Ilmiah atau yang lebih sering dikenal dengan metode ilmiah .
B. Pembagian Epistemologi
1. Epistemologi Barat
Harus diakui bahwa dunia barat sekarang telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab barat dianggap mampu menyajikan berbagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan besar terhadap sain dan teknologi modren.
Barat yang dikenal maju sebenarnya diwakili Amerika Utara dan Eropa Barat. Dua belahan wilayah inilah yang membawa gerbong kemajuan Barat, sehingga kemajuan yang dicapai tersebut mempengaruhiseluruh wilayah di dunia. Adapun faktor yang menjadikan barat mencapai kemajuan yang pesat adalah dengan pendekatan sainsnya pada epistemologi. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuan barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Teori-teori ilmiah dibangun dengan berdasarkan penalaran dan pengamatan, tumbuh dengan subur sehingga menghasilkan temuan baru silih berganti, baik bersifat temuan lama, temuan baru, maupun menentang temuan lama sama sekali.
Epistemologi yang dikuasai dan dikembangkan oleh barat ternyata dapat mempengaruhi pemikiran para ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi tersebut dijadikan sebagai acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuan di masing-masing Negara secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berpikirnya, metode berpikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahuan dan sebagainya, mengikuti gaya barat semuanya. Secara tidak sadar mereka terbelenggu oleh pengaruh yang mengikatnya. Padahal sesungguhnya epistemologi harus dijadikan sarana penalaran berpikir yang bisa mewujudkan dinamuka pemikiran, berubah menjadi penyeraraman cara-cara berpikir. Seolah –olah ada satu model berpikir yang mesti diikuti. Kondisi semacam ini membuktikan, bahwa sesungguhnya sedang terjadi proses imperialisme epistemologi barat terhadap pemikiran masyarakat sedunia.
a. Pendekatan-pendekatan epistemologi barat
Selanjutnya, perlu diidentifikasi pendekatan epistemologi barat yang telah melakukan melakukan imperialism epistemologi diseluruh dunia, terutama di dunia Islam. Adapun pendekatan epistemologi barat adalah skeptis, rasional-empiris, dikotomik, positivis-objektivis, dan menentang dimensi spritualis (anti metafisika).
a) Pendekatan Skeptis
Skiptis atau keragu-raguan (Kesangsian) tampaknya menjadi warna dasar bagi epestimologi barat. Skeptisisme pertama kali didunia barat diperkenalkan Rene Descartes (1596-1650). Dia mendapat gelar bapak filsafat modern. Bagi Rene Descartes, filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbarui dengan melalui metode dengan menyangsikan segala-galanya. Sebab dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu yang di anggap pasti ; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan juga, kecuali ilmu pasti. Keraguan sebagai suatu metode epistemologi yang dipakai filosof dan ilmuwan barat, ternyata memiliki konsekuensi berputar-putar memperpanjanh keraguan. Hal ini lah yang merupakan titik pusat kelemahan dari keraguan sebagai metode epistemologis, sehingga sulit mencapai kebenaran yang bisa diandalkan, sehingga hanya mendapatkan kebenaran yang mengandung keraguan.

b) Pendekatan Rasional-Empiris
Sebenarnya dalam filsafat metode skeptis tidak bisa dilepaskan dari metode rasional. Descartes di samping dikenal sebagai tokoh skeptisisme , ia juga juga sebagai tokoh rasionalisme. Dalam mekanisme kerja epistemologi barat, penggunaan rasio menjadi mutlak dan dibutuhkan. Tidak ada kebenaran yang bisa di pertanggungjawabkan tanpa mendapat kebenaran dari rasio. Para ilmuwan boleh mengmukakan konsep tentang cara-cara mendapatkan ilmu pengetahuan, haruslah konsep tersebut diterima oleh akal manusia. Artinya adalah rasio mempunyai perenan penting dalam mengesahkan suatu ilmu pengetahuan.
c) Pendekatan dikotomik
Dikotomik adalah pembagian atas dua konsep yang saling bertentangan. Dikotomi pengetahuan dalam bahasan ini memeliki akar sejarah yang panjang dan menegaskan. Dikotomi pengetahuan muncul bersamaan atau setidak-tidaknya beriringan dengan masa renaissance. Hal ini lebih mengarah kepada sejarah seperti yang terdapat pada masa gereja. Yang mana semua hasil temuan dari ilmu pengetahuan apabila bertentangan dengan doktrin-doktrin gereja, pengetahuan tersebut akan tertolak. Oleh karena itu pengetahuan barat dapat dimengerti dari persepektif sejarah. Artinya adalah ajaran- ajaran gereja, menjadi satu hambatan bagi perkembanagn ilmu pengetahuan.

d) Pendekatan positif –objektif
Filsafat fositif adalah filsafat faktual yakni berdasarkan pakta-pakta. Maksudnya adalah pengetahuan tidak boleh melampau fakta-fakta, maka pengetahuan empiris dijadikan pedoman istimewa dalam bidang pengetahuan.
e) Pendekatan yang menentang dimensi Spritual (Metafisika)
Epistemologi modern yang diawali dari pemikiran Descartes, mengarah pada antroposentris. Ungkapan Descartes, bahwa saya berpikir maka saya tidak ada semata-mata menunjukkan pembemberdayaan potensi manusia, tetapi ungkapan sekaligus berusaha untuk membalik kondisi dan tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan diluar manusia seperti kekuasan gereja.
2. Epistemologi Islam
Akibat epistemologi barat yang mengistemewakan peranan manusia dalam memecahkan segala sesuatu dan dalam waktu bersamaan menentang dimensi spiritual yang kemudian menjadi sumber utama krisis epistemologi yang berimpilikasi pada krisis pengetahuan, maka ada upaya untuk mencari pemecahanya dengan mempertimbangkan epistemologi lain. Dikalangan pemikir Muslim menawarkan pemecahan itu dengan Epistemologi Islam. Mereka mencoba menggagas bangunan epistemologi Islam tersebut dengan diformulasikan berdasar kan Al-qur’an dan Sunah. Jadi gagasan epistemologi merupakan respon kreatif terhadap tantangan–tantangan mendesak dari ilmu pengetahuan modern yang membahayakan kehidupan dan keharmonisan manusia sebagai akibat dari epistemologi barat.
Gagasan epistemologi Islam itu bertujuan untuk memberi ruang gerak bagi umat Islam, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi barat.
C. Epitemologi Pendidikan Islam
Reformasi epistemologi Islam dalam dunia pendidikan sangat penting dilakukan demi menghasilkan pendidikan bermutu dan yang mencerdaskan, terlebih dalam krisis kekinian yang menyangkut pengetahuan dan pendidikan Islam saat ini. Krisis yang terjadi dalam dunia pengetahuan dan pendidikan Islam saat ini menyebabkan tradisi keilmuan menjadi beku dan mandek, sehingga pendidikan Islam sampai saat ini masih belum mampu menunjukkan perannya secara optimal. Untuk mengatasi kelemahan dan problematika dalam pendidikan Isam tersebut harus dilakukan pembaruan-pembaruan (merekontruksi pendidikan) secara komprehensif agar terwujud pendidikan Islam ideal yang mencerdaskan dan bermoral dengan cara merekonstruksi epistemologi pendidikan Islamnya. Epistemologi pendidikan Islam ini meliputi; pembahasan yang berkaitan dengan seluk-beluk pendidikan Islam, asal-usul, sumber, metode, sasaran pendidikan Islam.
Dalam pembahasan ini epistemologi pendidikan Islam lebih diarahkan pada metode atau pendekatan yang dapat dipakai untuk membangun ilmu pengetahuan Islam, dari pada komponen-komponen lainnya, sebab metode atau pendekatan tersebut paling dekat dengan upaya mengembangkan pendidikan Islam, baik secara konseptual maupun aplikatif. Epistemologi pendidikan Islam bisa berfungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu, dan pengembang. Pendekatan epistemologi membuka kesadaran dan pengertian siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab ia menyajikan proses pengetahuan di hadapan siswa dibandingkan hasilnya. Pendekatan epistemologi ini memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan pasti mengetahui hasilnya. Sebaliknya, banyak yang mengetahui hasilnya tetapi tidak mengetahui prosesnya. Berbeda siswa yang hanya diberikan roti kemudian dia menikmatinya, dengan siswa yang diajak untuk membuat roti, kemudian menikmatinya. Tentunya pengetahuan siswa yang mengetahui proses pembuatan roti sampai menikmati itu lebih utuh, kokoh, dan berkesan.
Jika pendidikan Islam mengedepankan pendekatan epistemologi dalam proses belajar mengajar, maka pendidikan Islam akan banyak menelorkan lulusan-lulusan yang berjiwa produsen, peneliti, penemu, penggali, dan pengembang ilmu pengetahuan. Karena epistemologi merupakan pendekatan yang berbasis proses, maka epistemologi melahirkan konsekuensi-konsekuensi logis, yaitu :
1. menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu, perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual.
2. Merubah pola pendidikan Islam indoktrinasi menjadi pola partisipatif antara guru dan murid. Pola ini memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, memberikan alasan-alasan yang logis, bahkan siswa dapat pula mengkritisi pendapat guru jika terdapat kesalahan. Intinya, pendekatan epistemologi ini menuntut pada guru dan siswa untuk sama-sama aktif dalam proses belajar mengajar.
3. Merubah paradigma idiologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma idiologis ini -karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis. Praktis paradigma idiologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif. Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, ilmu pengetahuan (ayat kauniyah) dengan petunjuk wahyu Allah SWT. Dan paradigma ilmiah saja tanpa berpijak pada wahyu, tetap akan menjadi sekuler. Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah.
4. Guna menopang dan mendasari pendekatan epistemologi ini, maka perlu dilakukan rekonstruksi kurikulum yang masih sekuler dan bebas nilai spiritual ini, menjadi kurikulum yang berbasis tauhid. Sebab segala ilmu pengetahuan yang bersumber pada hasil penelitian pada alam semesta (ayat kauniyah) maupun penelitian terhadap ayat qouliyah atau naqliyah (al-qur’an dan sunnah) merupakan ilmu Allah SWT. Ini berarti bahwa semua ilmu bersumber dari Allah. Realisasinya, bagi penyusun kurikulum yang berbasis tauhid ini harus memiliki pengetahuan yang komperhensif tentang Islam. Karena kurikulum merupakan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan. Terkait dengan pengembangan kurikulum pendidikan Islam, hal-hal yang sifatnya masih melangit, dogmatis, dan transendental perlu diturunkan dan dikaitkan dengan dunia empiris di lapangan. Ilmu-ilmu yang berbasis pada realitas pengalaman empiris, seperti sosiologi, spikologi, filsafat kritis yang sifatnya membumi perlu dijadikan dasar pembelajaran, sehingga ilmu betul-betul menyentuh persoalan-persoalan dan pengalaman empiris.
5. Epistemologi pendidikan Islam diorientasikan pada hubungan yang harmonis antara akal dan wahyu. Maksudnya orientasi pendidikan Islam ditekankan pada perumbuhan yang integrasi antara iman, ilmu, amal, dan akhlak. Semua dimensi ini bergerak saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga perpaduan seluruh dimensi ini mampu menelorkan manusia paripurna yang memiliki keimanan yang kokoh, kedalaman spiritual, keluasan ilmu pengetahuan, dan memiliki budi pekerti mulia yang berpijak pada “semua bersumber dari Allah, semua milik Allah, difungsikan untuk menjalankan tugasnya sebagai kholifah Allah dan sebagai abdullah, dan akan kembali kepada Allah (mentauhidkan Allah)”. Bisa dikatakan bahwa hasil produk integrasi ini adalah manusia yang beriman tauhidiyah, berilmu amaliyah, beramal ilmiah, bertaqwa ilahiyah, berakhlak robbaniyah dan berperadaban islamiyah.
6. Konsekuensi yang lain adalah merubah pendekatan dari pendekatan teoritis atau konseptual pada pendekatan kontekstual atau aplikatif. Dari sini pendidikan Islam harus menyediakan berbagai media penunjang untuk mencapai hasil pendidikan yang diharapkan. Menurut perspektif Islam bahwa media pendidikan Islam adalah seluruh alam semesta atau seluruh ciptaan Allah SWT. Sabda Rasulullah SAW : “tafakkaruu filkholqi walaa tafakkaruu fil khooliq, fainnakum laa taqdiruuna qodrohu” yang artinya “berpikirlah kamu sekalian tentang makhluk ciptaan Allah, jangan kamu berpikir tentang Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu memikirkan-Nya.” (HR.Abu Syekh dari Ibn Abas).
7. Adanya peningkatan profesionalisme tenaga pendidik dan penguasaan materi yang komperhensif tentang materi ajar yang terintegrasi antara ilmu dan wahyu.
D. Cara mendapatkan Ilmu pengetahuan
Setelah kita mengetahui beberapa konsekuensi logis dari penerapan pendekatan epistemologi, perlu kita mengetahui sumber ilmu pengetahuan atau cara memperoleh ilmu pengetahuan. Menurut Mujamil Qomar ditinjau dari cara memperolehnya, adakalanya pengetahuan pendidikan diperoleh setelah mengalami. Ini merupakan pengetahuan pendidikan secara aposteirori (oleh Imam Ghozali disebut ilmu nazari) atau menurut istilah Barat disebut empirisme. Adakalanya pengetahuan pendidikan diperoleh sebelum mengalaminya, hanya melalui perenungan dan penggagasan. Hal ini disebut pengetahuan pendidikan apriori (oleh Imam Ghozali disebut ilmu awali) atau menurut istilah Barat disebut rasionalisme. Jika pengetahuan pendidikan yang pertama bersumber dari indera, maka pengetahuan pendidikan yang kedua bersumber dari akal. Sedangkan asal-usul atau sumber ilmu pengetahuan dalam pendidikan Islam adalah dari Allah SWT. Karena itu, jika dibandingkan dengan pengetahuan yang bersumber dari indera dan akal, maka masih ada tingkatan pengetahuan yang jauh lebih tinggi, yaitu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan petunjuk wahyu. Pengetahuan yang bersumber dari indera ataupun akal, kebenarannya bersifat nisbi. Artinya, jika ada penelitian dan pembuktian lain yang berhasil mematahkan hasil penelitian pertama, maka hasil penelitian pertama tidak berlaku lagi dan yang digunakan adalah hasil penelitian kedua, begitu seterusnya. Sedangkan pengetahuan yang bersumber pada petunjuk wahyu, kebenarannya bersifat mutlak. Mujamil menambahkan bahwa di samping itu, masih ada pengetahuan yang diperoleh secara -cuma-cuma- dari Tuhan melalui mimpi, intuisi, ilham, dan semacamnya.
Betapapun besarnya kekuatan akal untuk menjalankan proses berpikir, bernalar, merenung, menggagas, berspekulasi, dan berimajinasi untuk menemukan pengetahuan baru, tetapi perlu ditegaskan lagi bahwa akal memiliki keterbatasan. Kemampuan akal sangat terbatas. Banyak realita yang diakui ada, tetapi akal tidak mampu menjangkaunya. Kenyataan ini dapat dijadikan peringatan agar manusia tidak bersifat arogan setelah menemukan dari sedikit ilmu Allah yang tersembunyi dibalik sunnatullah atau alam ciptaan-Nya. Kita tahu bahwa epistemologi Barat memiliki ciri-ciri pendekatan skeptif (keragu-raguan atau kesangsian), pendekatan rasional-empirik, pendekatan dikotomik, pendekatan positif-objektif, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Sedangkan epistemologi pendidikan Islam selama ini terkesan masih bersifat teologis, doktrinal, pasif, sekuler, mandul, jalan ditempat, dan tertinggal jauh dengan epistemplogi pendidikan Barat terutama sains dan teknologi. Dalam hal ini, alternatif yang mujarab untuk mencairkan kebekuan epistemplogi dalam bangunan pendidikan Islam dan untuk menyelamatkan umat islam dan peradabannya akibat epistemologi Barat, maka kita harus melakukan reformasi pada epistemologi pendidikan Islam yang sudah terbaratkan, yaitu dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Dengan cara membangun epistemologi yang berpijak pada Al-qur’an dan As-sunnah yang didesain dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, islamisasi ilmu pengetahuan dan karakter ilmu dalam perspekti Islam yang bersandar pada kekuatan spiritual yang memiliki hubungan harmonis antara akal dan wahyu, interdependensi akal dengan intuisi dan terkait nilai-nilai spiritual. Episemologi Pendidikan Islam seperti ini, menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat Islam yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang lebih mapan dan stabil. Epistemologi pendidikan Islam seperti ini menekankan totalitas pengalaman dan kenyataan (empirisme) serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam (rasionalisme), sehingga ilmu yang diperoleh dari wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dari tradisi maupun spekulasi teoritis benar-benar mencetak generasi-generasi yang seimbang antara intelektual, skill, dan spiritualnya serta moralitasnya.
b. Kita harus memperioritaskan epistemologi pendidikan Islam yang berbasis proses tauhid, pengalaman empirik, di mana dari realitas empirik ini kemudian diamati, dikaji, dan diteliti dengan mengandalkan metode observasi dan eksperimentasi disertai tehnik-tehniknya dengan spirit tauhid keimanan. Langkah ini menekankan bahwa epistemologi harus dimaknai sebagai proses, prosedur, cara atau kerja metodoligi penelitian guna mencapai pengetahuan baru, bukan epistemologi dalam makna sumber atau alat untuk mencapai pengetahuan. Kemudian, muatan-muatan teologis atau hegemoni teologi atas epistemologi harus dihilangkan sedemikian rupa sehingga epistemologi menjadi independen atau berdiri sendiri.
c. Orientasi atau penekanan pada knowing (ma’rifah), pengetahuan teoritik, atau akademik yang cenderung menjadikan siswa pasif dalam belajar di bawah otoriter guru, perlu dirubah ke arah orientasi epistemologi pendidikan Islam yang menekankan pada doing, aktivitas dan kreativitas, atau kerja profesional yang menjadikan siswa aktif dan kretif dalam belajar. Dalam proses doing, aktivitas, kreativitas tersebut nilai-nilai spiritual dan moralitas masuk di dalamnya, sehingga di samping siswa menemukan ilmu pengetahuan baru dia juga mengakses nilai-nilai spiritual secara bersamaan.
E. Metode Epistemologi Pendidikan Islam
Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi mencakup banyak pembahasan termasuk metode. Penggunaan metode dalam pendidikan Islam dimaksud membahas yang dipakai untuk menyampaikan materi-materi pendidikan Islam
1) Metode ‘aqli (proses berpikir atau rasional) yaitu metode yang dipergunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria kebenaran memalui proses berpikir yang bisa diterima akal. Metode ini memandang bahwa segala sesuatu dianggap benar, jika bisa diterima rasio (lihat Ali ‘Imran, 190-191)
2) Metode dzauqi, hikmah, atau jelajah qolbu (metode intuitif) yaitu metode yang digunakan untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan jalan mengasah kepekaan qolbu siswa agar pengetahuan yang tiba-tiba itu muncul, walupun tanpa didahului oleh pengalaman atau pengetahuan sebelumnya. Dalam istilah agama ituitif adalah ilham. “Siapa yang mampu menjaga keilkhlasan hatinya selama 40 hari lamanya, maka akan dipancarkan dari dalam hatinya sumber-sumber (seperti mata air) ilmu hikmah” (Al-Hadits)
3) Metode jadali (metode dialogis atau diskusi) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan melalui karya tulis yang disajikan dalam bentuk tanya-jawab antara dua orang atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan di hadapan wahyu (lihat surat An-Nahl : 111 dan 125)
4) Metode moqaranah (komparatif) yaitu metode dengan membandingkan teori atau praktik maupun dua pendapat tokoh dengan tujuan untuk mencari kelemahan-kelemahan dan kelebihan atau pun memadukan pengertian dan pemahaman supaya diperoleh ketegasan yang dimaksud dari permasalahan yang ada. (lihat surat : surat Al-Hasyr: 20)
5) Metode naqdi (kritik) yaitu metode untuk menggali pengetahuan dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi ilmu kemudian menawarkan solusi-solusinya. Metode ini bisa dikatakan dengan washiyah atau nasehat (lihat surat al-”ashr ayat 1-3)
6) Metode muhasabah (koreksi atau evaluasi) yaitu metode untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara melakukan koreksi dan evaluasi terhadap pengetahuan untuk ditemukan kekurangan-kekurangan dan ditawarkan alternatif baru sebagai solusinya. Umar bin Khothab berkata: “hasibuu qobla antuhaasabuu”. Artinya: “koreksilah dirimu, sebelum kelak kamu dikoreksi Allah”.
Metode-metode yang dikembangkan untuk membangun daya kritis atau intelektual siswa ini, harus disandarkan pada wahyu, nilai-nilai spiritual, maupun metode ilmiah secara integral yang implementasinya berbasis proses tauhid.






BAB III
KESIMPULAN
Dari keterangan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa efistemologi teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari obyek yang ingin dipikirkan. Sedangkan efistemologi dalam Islam membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dengan bedasarkan Al-qur’an dan Sunnah











DAFTAR KEPUSTAKA
Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Al Ma’arif, 1987.
M.Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Nur Uhbiati, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997.
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, Bandung : Mandar Maju, 1994.
Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta : Kanisus, 1994.
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998.
M.Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah, Bandung : Pustaka, 2000.
Nico Syukur Dister, Filsafat kebebasan, Yogyakarta : Kanisus, 1993.
Assegaf , Abdur Rahman,. Pendidikan Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Suka Press: 2007
http/www.Problematika Pendidikan Islam Masa Kini dan Akan Datang.com
Ihsan, Hamdani, “Filsafat Pendidikan Islam” Bandung: CV Pustaka Setia, 1998
Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik; Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam” Jogjakarta:UGM Press Jawa Timur, 2004
Machfudz Ibawi, “Modus Dialog di Perguruan Tinggi Islam”, dalam Amin Husni et.al., Citra Kampus Religius Urgensi Dialog Konsep Teoritik Empirik Dengan Konsep Normatif Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1986
Ma’arif , Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987
Ridla, Muhammad Jawad, Al-Fikr Al-Tarbawiy Al-Islamiy; Muqoddimah fi Usulihi Al-Ijtimaiyyah wa Al-Aqlaniyah, t.k.: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, t.t.
Syahminan Zaini, “Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam” Jakarta:Kalam Mulia, 1986
Qomar, Mujamil,. Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta: Erlangga, 2005).
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, 2007 Sumber: www. Problematika Pendidikan Islam Masa Kini dan Akan Datang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar